Bisnis.com, JAKARTA -- Sejalan dengan momentum keterbukan informasi untuk keperluan perpajakan, pemerintah akan menghilangkan batasan keperluan yang digunakan untuk meniadakan kerahasiaan data pihak ketiga, termasuk data simpanan nasabah perbankan.
Direktur Peraturan Perpajakan I Ditjen Pajak (DJP) Irawan mengungkapkan rencana itu telah diusulkan masuk dalam revisi Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) yang menjadi prioritas pemerintah tahun depan.
Dalam pasal 35 UU KUP yang berlaku saat ini disebutkan kerahasiaan data atau bukti dari bank, akuntan publik, notaris, konsultan pajak, kantor administrasi, dan/atau pihak ketiga lainnya ditiadakan untuk tiga keperluan, yakni pemeriksaan, penagihan, atau penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan. Kecuali untuk bank, kewajiban peniadaan atas permintaan tertulis dari Menteri Keuangan.
"Ketentuan dalam aturan itu akan diubah menjadi untuk kepentingan perpajakan," ujarnya kepada Bisnis.com, Sabtu (19/12/2015).
Dalam revisi aturan tersebut, lanjut Irawan, permintaan data simpanan nasabah perbankan tetap harus seizin Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Masih harus izinnya pertukaran informasi data nasabah dikarenakan masih dianutnya kerahasiaan di UU Perbankan dan UU Perbankan Syariah. Jika ketentuan itu direvisi, sambungnya, tahapan proses izin bisa dihilangkan.
Seperti diketahui, pemerintah memutuskan masuk menjadi bagian dalam kelompok early adopters penerapan automatic exchange of information (AEoI) pada akhir 2017. Dengan demikian, seluruh informasi termasuk data nasabah perbankan akan terbuka untuk keperluan pajak antar negera yang ikut menerapkan.
Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro sebelumnya mengatakan sejalan dengan momentum itu, seluruh aturan yang ada di Tanah Air pada akhirnya juga akan direvisi. Untuk revisi UU KUP, sambungnya, substansi yang ada dalam AeoI juga akan dimasukkan.
"Ya nanti diperbaiki sesuai dengan perkembangan zaman. Ya nantinya automatic exchange of information itu yang kita jadikan dasar," katanya.
Deputi Komisioner OJK Mulya E Siregar mengatakan instansinya akan tetap mengikuti aturan yang ada. OJK, sambung dia, tetap mendukung langkah pemungutan pajak sepanjang tidak melanggar aturan hukum yang berlaku.
Terkait potensi banyaknya DPK yang keluar, Mulya hanya mengatakan memang seharusnya ada naskah akademik yang kuat. Kendati pihaknya mengaku tidak tahu terjadi atau tidaknya fenomena itu pasca keterbukaan informasi. Kita tidak tahu akan lari atau tidak [dananya] tapi kan ada potensi, ujarnya.
Ketua Komisi XI DPR Fadel Muhammad mengatakan seluruh keterkaitan keterbukaan informasi data untuk perpajakan yang berkaitan dan masuk dalam revisi UU Perbankan tidak akan lepas dari pembahasan tahun depan bersamaan dengan pembahasan revisi UU KUP.
Darussalam, Managing Partner Danny Darussalam Tax Center (DDTC) mendukung langkah pemerintah yang tidak membatasi lagi keperluan peniadaan kerahasiaan yang ada dalam KUP. Ketiadaan rahasia termasuk pembukaan rekening harus dapat digunakan untuk penggalian potensi penerimaan negara.
Namun demikian, karena sensitifnya data rekening nasabah perbankan, dia menilai harus pula diatur dalam level apa data tersebut bisa diakses. Artinya, tidak semua pegawai Ditjen Pajak (DJP) bisa mengaksesnya. Selain itu, harus ada jaminan keamanan informasi sehingga tidak bocor ke pihak lainnya.
Senada, Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo menilai dengan adanya usulan revisi beleid pasal 35 UU KUP itu akan ada ruang akses yang lebih besar bagi DJP untuk mendapatkan informasi terkait potensi penerimaan.
Tapi akuntabilitas dan pengawasan pemanfaatan dana harus dibangun. Batasan siapa pejabat yang berhak meminta data, menggunakan data, dan akuntabilitasnya, tuturnya.