Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Insentif Pegawai DJP Akan Lebih Fleksibel, Ini Alasannya

Sejalan dengan penguatan kelembagaan otoritas pajak, pemerintah akan memberikan fleksibilitas terkait insentif pegawai yang selama ini dipatok dalam Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
Ilustrasi/Bisnis-Choirul Anam
Ilustrasi/Bisnis-Choirul Anam

Bisnis.com, JAKARTA -- Sejalan dengan penguatan kelembagaan otoritas pajak, pemerintah akan memberikan fleksibilitas terkait insentif pegawai yang selama ini dipatok dalam Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.

Irawan, Direktur Peraturan Perpajakan I Ditjen Pajak (DJP) mengatakan langkah itu ditempuh dengan rencana menghilangkan terlebih dahulu ketentuan insentif yang muncul dalam pasal 36D UU No. 28/2007 tentang Perubahan Ketiga atas UU No. 6/1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).

"Pasal 36D di revisi UU KUP nanti [rencananya] dihilangkan," ujarnya kepada Bisnis.com belum lama ini, yang dikutip Sabtu (19/12/2015).

Dalam pasal tersebut dinyatakan DJP dapat diberi insentiif atas dasar pencapaian kinerja tertentu. Pemberian insentif itu ditetapkan melalui APBN yang tata caranya diatur dengan peraturan menteri keuangan (PMK). Adapun, besarnya insentif dilakukan melalui pembahasan dengan DPR.

Menurutnya, ketentuan yang disahkan pada 17 Juli 2007 dan berlaku awal 2008 itu sudah tidak lagi efektif. Insentif selama ini diberikan dari pencapaian target penerimaan pajak. Alhasil, pasca sunset policy 2008, persisnya mulai 2009 tidak ada insentif bagi DJP karena selalu gagal mencapai target.

Dalam catatan Bisnis.com, sejak 2006, DJP selalu mencatatkan shortfall - selisih antara realisasi dan target - penerimaan pajak yang terus melebar. Hanya saja, pada 2008, ada surplus penerimaan pajak (minus PPh migas) sekitar Rp13 triliun. Setelah itu, penerimaan pajak konsisten tidak mencapai target.

Tahun lalu, di masa akhir Fuad Rahmany menjadi DJP-1, rekor shortfall terlebar ditorehkan, yakni sekitar Rp94,5 triliun. Jika tahun ini pemerintah memberikan sinyal worst case shortfall Rp194 triliun, DJP - di bawah kendali Sigit Priadi Pramudito dan diteruskan sementara oleh Ken Dwijugiasteadi - kembali memecahkan rekor.

Irawan berujar nantinya pengaturan insentif akan dilakukan sendiri dalam badan penerimaan pajak (BPP) yang merupakan bentuk penguatan otoritas pajak. Dengan skema kelembagaan semi otonom yang masih menggunakan kerangka aparatur sipil negara (ASN) itu, pengaturan insentif akan dilakukan dalam bentuk peraturan presiden (perpres).

"Tanggung jawab ke presiden langsung tapi tetap melalui menteri keuangan. Selain lebih fleksibel terkait insentif dan remunerasi, kalau mau ngrekrut [pegawai] baru atau mau pecat lebih gampang," tuturnya.

Tahun ini, lewat Perpres No. 37/2015 tentang Tunjangan Kinerja Pegawai di Lingkungan DJP, otoritas mendapat kenaikan kasta lewat pemberian remunerasi yang hampir setengah miliar, persisnya Rp469,5 juta.

Dalam catatan Bisnis.com, banyak pihak yang mengatakan ini sebagai bentuk stimulus upaya pencapaian target tahun ini Rp1.244.7 triliun yang naik hampir 40% dari realisasi tahun lalu. Namun, tidak jarang pula yang menyatakan ini sebagai bentuk kompensasi tidak adanya kenaikan tunjangan kinerja sekitar tujuh tahun ke belakang.

Pelaksana Tugas (Plt.) Dirjen Pajak Ken Dwijugiasteadi mengatakan pihaknya siap mengajukan usulan kepada Presiden Joko Widodo untuk merevisi kembali perpres yang telah mengatur beberapa layer persentase pemangkasan remunerasi tahun depan yang dikaitkan dengan pencapaian target tahun ini.

"Kalau perpres, nanti usul ke Pak Presiden [Joko Widodo] dan yang usul bukan saya saja, tapi 35.000 pegawai [DJP] usul semua kok," ujarnya. "Alasannya, gaji pengawai saat ini dinilai masih rendah."

Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo berpendapat memang ada kekhawatiran jika remunerasi turun akan membuat pegawai DJP demotivasi, meskipun itu sudah menjadi konsekuensi dari perpres.

Setidaknya, sambung dia, remunerasi tahun depan tidak dipangkas tapi ada tuntutan kerja yang lebih tinggi supaya negara mendapat keuntungan. Selain itu, harus ada perbaikan struktur remunerasi karena masih ada ketimpangan. Kenaikan di level eselon jauh dibandingkan level pelaksana.

Analisis beban kerja belum bagus. Perpres 37 menurut saya memang bermasalah. Kalau dinaikkan [remunerasinya] mungkin juga belum saatnya, katanya.

Kendati demikian, Prastowo berpandangan tunjangan kinerja itu bukan jaminan kembalinya motivasi pegawai DJP sehingga ujungnya mampu mengakselerasi penerimaan. Harus ada perbaikan manajemen SDM yang menyeluruh.

Jika ditanya ke pegawai DJP, menurutnya, mereka lebih membutuhkan back up dan kepastian kerja seperti penempatan dan mutasi. Namun, karena sudah terlanjur naik, langkah penurunan tunjangan pasti akan memberi pengaruh.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper