Bisnis.com, JAKARTA - Blok kerja sama perdagangan Trans Pacific Partnership (TPP) saat ini pengaruhnya dianggap besar. Kendati hanya melibatkan 12 negara, nilai perdagangannya mencakup 26% dari perdagangan global dan 38% dari perekonomian global termasuk di sektor tekstil dan produk tekstil (TPT).
Hasil analisa Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (Apsyfi) memperlihatkan bahwa ketertinggalan ekspor TPT Indonesia salah satunya disebabkan ketidak-ikutsertaan Indonesia di TPP.
Sekretaris Jenderal Apsyfi Redma Gita Wirawasta mengatakan hal ini dikarenakan lebih dari 50% tujuan ekspor TPT Indonesia adalah negara TPP khususnya Amerika Serikat.
Pada saat yang sama, pesaing TPT Indonesia yaitu Vietnam dan Malaysia sudah terlebih dahulu bergabung dengan TPP sehingga mendapatkan preferential tariff yang cukup signifikan dibanding Indonesia.
“Bea Masuk garmen kita ke Amerika Serikat 17,5% sedangkan Vietnam hanya 5% bahkan Malaysia sudah 0%,” ungkap Redma, dalam siaran pers yang diterima, Rabu (25/11/2015).
Implikasi tidak ikut TPP, lanjutnya, bukan hanya kehilangan pasar Amerika Serikat akibat kalah bersaing dengan sesama negara di Asia Tenggara, melainkan juga akan mulai menambah saingan baru di pasar Jepang.
“Bagi negara-negara di Amerika Latin seperti Meksiko, Peru dan Chili, magnetnya adalah pasar Jepang. Indonesia memang sudah dapat preferential tariff di Jepang melalui skema IJ-EPA atau AJ-CEP. Namun, dengan bergabungnya beberapa negara produsen TPT di TPP maka saingan di pasar Jepang akan bertambah,” jelas Redma.
Hal lain yang perlu dicermati dalam TPP, katanya, adalah aturan asal barang/rule of origin (ROO) untuk sektor TPT yang terbilang ketat karena untuk meminimalisir benefit bagi negara non-TPP.
ROO yang diberlakukan, katanya, adalah “Yarn Forward” yang artinya barang akan mendapatkan preferential tariff jika proses pembuatan benang, kain hingga garmennya dilakukan di negara anggota TPP.
Industri Terintegrasi
Ketua Umum APSyFI Ravi Shankar menilai bagi negara produsen TPT seperti Indonesia yang mempunyai struktur industri TPT terintegrasi dari hulu ke hilir, hal ini akan sangat menguntungkan karena akan memperkuat sektor TPT secara keseluruhan dari hulu ke hilir.
“Tinggal bagaimana kita berusaha untuk memperkuat rantai nilai dari hulu ke hilir, karena kita sudah punya modal yang cukup untuk memenuhi ROO yang berlaku itu” jelas Ravi.
Ravi menjelaskan ketidakikutsertaan Indonesia membuat investasi di sektor hulu dan antara mulai beralih ke negara-negara TPP, karena pengalihan FDI akan menjadi suatu keniscayaan dari suatu kerjasama perdagangan.
“Bisnis selalu mencari jalan termudah untuk mengakses pasar dan investasi sangat dibutuhkan oleh negara kita yang masih memiliki masalah tingginya tingkat pengangguran” tambahnya.
Untuk itu, Apsyfi akan sangat mendukung jika pemerintah bergabung dengan TPP. Anggota perusahaan Apsyfi yang memproduksi serat buatan dan benang filamen siap untuk menjalin kerjasama dengan produsen lokal maupun produsen di negara TPP lainnya jika pemerintah bergabung dengan TPP.
Apsyfi, ucapnya, berharap dengan bergabungnya Indonesia ke dalam TPP bisa membuat rantai nilai di pasar domestik dan Asia Pasifik bertambah kuat sehingga bisa mendorong investasi baru yang pada akhirnya menyerap banyak tambahan tenaga kerja.
Ketua Bidang Kebijakan Industri Ikatan Alumni Institut Teknologi Tekstil-Sekolah Tinggi Teknologi Tekstil (IKA ITT-STTT) Cecep Daryus mengatakan keikutsertaan Indonesia di TPP akan mendorong ekspor TPT. “Ekspor Vietnam tidak akan mencapai US$22 miliar kalau mereka tidak ikut TPP,” jelasnya.
Namun Cecep mengingatkan agar pemeritah memperhatikan sinergi antara industri hulu, antara dan hilir TPT agar rantai nilai di dalam negeri bisa dioptimalkan sehingga bisa mendapatkan benefit yang maksimal dari keikutsertaan kita di TPP.