Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

BI: Stabilitas Terkendali, Tekanan Makro Sedikit Mereda

Bank Indonesia menyatakan stabilitas makro ekonomi Indonesia telah terkendali dan tekanan makro ekonomi sedikit mereda bila dibandingkan tahun lalu.
Kantor Bank Indonesia/Ilustrasi-Bisnis
Kantor Bank Indonesia/Ilustrasi-Bisnis
Bisnis.com, JAKARTA - Bank Indonesia menyatakan stabilitas makro ekonomi Indonesia telah terkendali dan tekanan makro ekonomi sedikit mereda bila dibandingkan tahun lalu.
 
Direktur Eksekutif Kepala Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter Bank Indonesia (BI) Juda Agung mengatakan terkendalinya stabilitas makro ekonomi dan tekanan yang telah mereda tersebut terlihat dari sejumlah indikator.
 
Pertama, Bank Indonesia meyakni inflasi hingga akhir tahun 2015 terkendali dan diproyeksikan berada di sekitar level 3%.
 
"Inflasi sampai dengan akhir tahun itu hanya sekitar 3% dan mungkin sedikit lebih rendah dari target Bank Indonesia yang sebesar 3% hingga 5%. Kemunginan lebih rendah dari 3%. Inflasi kita saat ini lebih terkendali," ujarnya di Jakarta, Sabtu (21/11/2015).
 
Indeks harga konsumen yang mengalami deflasi pada bulan September sebesar 0,05% dan Oktober sebesar 0,08% berpengaruh pada inflasi Indonesia yang rendah hingga akhir tahun.
 
Juda memperkirakan inflasi Indonesia pada bulan November akan sebesar 0,13% dan pada bulan Desember 0,5% sehingga sampai dengan akhir tahun sedikit di bawah 3%.
 
"Dari JanuarI hingga Oktober (year to date) inflasi sebesar 2,16% sehingga masih ada ruang yang besar inflasi di bawah 3% hingga akhir tahun karena ini tinggal dua bulan lagi," katanya.
 
Indikator kedua yakni defisit transaksi berjalan atau current account deficit (CAD) yang telah membaik.
 
Perbaikan CAD ini, lanjutnya, dipengaruhi oleh surplusnya neraca perdagangan Indonesia.
 
"Neraca perdagangan meningkat terus kemarin 1,4% terakhir 1,7%. Yang menyebakan current account masih defisit adalah karena neraca jasa," ucap Juda.
 
Defisitnya neraca jasa ini telah terjadi sejak jaman orde baru hingga sekarang.
 
Hal itu terjadi karena setiap ekspor Indonesia selalu menggunakan alat pengangkut milik asing sehingga banyak dana yang keluar.
 
"Kalau kita mau kirim dana keluar negeri ke Amerika misalnya kita ekspor ke China, kita masih pakai kapal asing, asuransinya masih pake asuransi asing karena asuransi Indonesia masih belum mengcover, yang jelas itu keluar terus dari sisi jasa," tutur Juda.
 
Ditambah lagi, dari sisi investasi asing yang masuk dan kemudian direpatriasi sehingga menambah defisit.
 
"Kalau kita lihat dagang sudah positif, jasa masih negatif," ujarnya.
 
Juda menuturkan indikaror ketiga yakni nilai tukar rupiah. Pada bulan Oktober, kurs rupiah mengalami apresiasinya paling tinggi sekitar 6% di kawasan Asia, setelah mengalami depresiasi.
 
"Kita lihat sampai dengan bulan Oktober, depresiasinya sebesar 9% bandingkan Malaysia 20%, Brazil diatas 40%," katanya.
Menurutnya, saat ini kurs rupiah masih mengalami volatilitas yang tinggi, kendati tekanan pada kurs rupiah saat ini lebih rendah dibandingkan awal tahun.
 
Hal itu terjadi karena banyaknya dana yang masuk ke surat utang negara maupun saham.
 
"Jadi bila dilihat nilai tukar volatilitasnya masih tinggi, kurs bergerak dari Rp13.500, kadang ke Rp13.600, dua hari lalu Rp13.700, lalu kemarin menguat ke Rp13.600. Volatilitasnya masih tinggi tapi relatif kalau kita bandingkan sejak awal tahun tekanannya sudah semakin berkurang," terang Juda.
 
Selain itu, indikator terakhir yakni pertumbuhan ekonomi Indonesia yang mengalami perbaikan walaupun belum terlalu signifikan.
 
Dia mengakui bahwa pertumbuahn kuartal III memang tidak mengalami kemajuan signifikan dari 4,67% di kuartal II menjadi 4,7% pada kuartal III/2015.
 
Perbaikan ekonomi tersebut, tambah Juda, terutama masih didorong oleh belanja pemerintah dari proyek infrastruktur. Namun, investasi dari sektor swasta masih sedikit dan belum terlalu kuat untuk mendorong ekonomi.
 
"Investasi swasta masih agak lemah. Kita lihat di PDB, investasi bangunan lebih banyak dari non bangunan. Investasi bangunan itu ya bangun jalan gedung, jembatan, waduk dan non bangunan investasi mesin," katanya.
 
Juda menilai dari sisi pertumbuhan ekonomi saat ini masih perlu untuk didorong walaupun kondisi makro ekonomi telah stabil. Pasalnya, pertumbuhan ekonomi yang berada di level 4,7% tersebut masih terbilang sedikit lemah.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Yanita Petriella
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper