Bisnis.com, JAKARTA Dengan target penerimaan pos cukai hasil tembakau tahun depan Rp139,81 triliun, pemerintah akan mengenakan kenaikan tarif cukai rokok rata-rata sekitar 11%.
Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro mengatakan dalam waktu dekat akan segera terbit peraturan menteri keuangan (PMK) terkait kenaikan tarif cukai hasil tembakau (HT) sebagai salah satu tumpuan penerimaan cukai tahun depan.
Rata-rata naiknya 11%, ujarnya dalam konferensi pers APBN 2016 di kantor Ditjen Pajak Pusat, Selasa (3/11/2015).
Seperti diketahui, pos bea dan cukai APBN 2016 disepakati senilai Rp186,5 triliun, turun 4,3% dari target dalam APBNP 2015 senilai Rp195 triliun. Target tersebut naik tipis sekitar 0,6% dibandingkan outlook tahun ini Rp185,3 triliun. Target pos cukai menempati porsi terbesar yakni senilai Rp146,43.
Sayangnya, pihaknya tidak menjelaskan lebih lanjut kenaikan tertinggi dan terendah untuk setiap jenis rokok yang ada. Namun, sebelumnya Bambang mengungkapkan untuk sigaret kretek tangan (SKT) akan mengalami kenaikan terendah, bahkan ada yang tidak 0% alias tidak naik sebagai salah satu insentif untuk menjaga ketersedian lapangan kerja.
Dirjen Bea dan Cukai Heru Pambudi memastikan golongan yang tidak mengalami kenaikan tarif tahun depan yakni SKT golongan III B golongan dengan batasan harga jual eceran (HJE) paling rendah Rp286,00 per batang atau gram.
Tahun ini, sesuai Peraturan Menteri Keuangan No. 205/PMK.011/2014, golongan rokok tersebut juga tidak mengalami kenaikan. Dalam kenaikan rerata 8,72%, kenaikan tertinggi terjadi pada sigaret kretek mesin (SKM) untuk pabrik golongan I HJE paling rendah Rp800,00 per batang atau gram yakni sebesar 16,9% dari tarif cukai sebelumnya.
Sementara untuk tahun depan, Heru belum bisa memastikan lebih lanjut. Namun, ketika ditanya potensi kenaikan tertinggi hingga 20%, mantan Direktur Fasilitas Ditjen Bea dan Cukai (DJBC) ini menampiknya. Dia hanya mengatakan ada di kisaran 15% dengan plus minus yang belum bisa diungkapkan lebih jauh.
Angkanya nanti setelah [PMK] resmi keluar, katanya.
Objek Cukai Baru
Menurutnya, selain akan memakai instrumen tarif sebagai salah satu upaya penggenjotan penerimaan cukai, pemerintah akan memaksimalkan upaya penindakan-penindakan barang kena cukai (BKC) ilegal yang selama ini beredar di masyarakat.
Dengan adanya upaya penindakan tersebut diharapkan akan mampu menambah peredaran BKC legal yang pada gilirannya mampu menambah penerimaan negara.
Tidak hanya itu, sesuai dengan kesepakatan pemerintah dengan DPR dalam pembahasan APBN 2015, pemerintah akan melakukan exercise pengenaan cukai pada minuman bersoda/berpemanis tahun depan. Dalam catatan Bisnis, DPR meminta peluang penerapan tarif cukai itu dimasukkan dalam RAPBN Perubahan 2016.
Heru mengatakan pemerintah akan mengkaji lebih dalam pengenaan status BKC pada kedua produk tersebut sehingga berpotensi dikeluarkan tahun depan. Namun, dalam pengkajian nantinya, akan dilihat efektivitas dan kemudahaan dalam pemungutannya.
Dalam catatan Bisnis, wacana usulan pengenaan cukai pada minuman bersoda sangat intens dilontarkan otoritas fiskal sejak akhir 2012. Bahkan, Menkeu Bambang Brodjonegoro yang saat itu menjadi Plt Kepala BKF mengajukan lima usulan tarif cukai atas MRKP per liternya.
Saat itu, Bambang selalu menegaskan usulan MRKP menjadi BKC dikarenakan produk tersebut memilliki dampak negatif bagi kesehatan apabila dikonsumsi berlebihan, sehingga peredarannya perlu diawasi. Dia pun mengatakan negara-negara yang telah menerapkan jenis cukai ini a.l. Laos, Thailand, Singapura, Amerika Serikat, India dan Meksiko dengan argumentasi alasan kesehatan dan lingkungan.
Upaya pengenaan tersebut tidak berjalan mulus. Tahun lalu, Kemenkes menyatakan konsumsi MKRP belum menimbulkan dampak berupa gangguan pada kesehatan masyarakat, sehingga belum perlu dikontrol konsumsinya dengan tambahan cukai.
Namun, akhir Maret lalu, Kementerian Keuangan telah menerima restu terkait pengenaan cukai pada minuman bersoda atau minuman ringan berkarbonasi dan berpemanis (MRKP) dari Kementerian Kesehatan.
Pengenaan cukai, menurut Heru, harus berangkat dari upaya kontrol dan pembatasan bukan dari penerimaan. Ekstrimnya, walau secara penerimaan negara tidak terlalu besar, namun masih bisa diterapkan apabila kuat sebagai pengontrol.
Tentunya juga diperhatikan juga ada tidaknya imbas distorsi dan kegaduhan, jelasnya.