Bisnis.com, JAKARTA--Kendati diklaim lebih realistis oleh pemerintah, asumsi pertumbuhan ekonomi 2016 sebesar 5,3% masih berisiko meleset karena tumpuan utama pertumbuhan berasal dari belanja dan investasi pemerintah. Tumpuan pertumbuhan ini masih menyisakan masalah klasik yakni rendahnya penyerapan.
Lana Soelistianingsih, ekonom Samuel Aset Management menilai laju produk domestik bruto (PDB) tahun depan maksimal akan berada di level 5%-5,1% karena tidak akan ada pendorong yang signifikan dari sisi ekspor, investasi swasta, bahkan konsumsi masyarakat.
"Masih ada kekhawatiran pertumbuhan ekonomi yang 5,3% itu, masih berat ya karena andalannya di pengeluaran pemerintah terutama belanja modal. Seperti kita tahu, masalah penyerapan anggaran yang rendah selalu terjadi," jelasnya kepada Bisnis.com, Minggu (1/11/2015)
Apalagi, lanjut Lana, risiko semakin bertambah ketika pemerintah memutuskan untuk menambah dana transfer ke daerah sebagai upaya desentralisasi fiskal. Jika kebijakan ini tidak disertai dengan tepatnya mitigasi risiko, masalah rendahnya penyerapan anggaran akan menjadi simalakama. Telebih, selama ini penyerapan pemerintah daerah masih lebih lamban dari pemerintah pusat.
Tahun ini saja, realisasi belanja negara hingga 7 Oktober baru mencapai 64% dari pagu atau sekitar Rp1.269,82 triliun.
Dalam APBN 2016 yang disahkan Jumat (30/10) lalu, dengan asumsi pertumbuhan ekonomi 5,35, pagu alokasi transfer ke daerah dan dana desa dipatok senilai Rp770,2 triliun, loncat sekitar Rp105,6 triliun atau 15,9% dari pagu tahun ini Rp664,6 triliun.
Sementara, belanja kementerian/lembaga (K/L) tercatat Rp784,1 triliun, turun 1,4% dari alokasi dalam APBNP 2015 senilai Rp795,5 triliun. Kendati rencana pengalokasian dana transfer dan dana desa yang lebih tinggi dari belanja K/L batal, gap kedua anggaran itu menyempit dari Rp130 triliun tahun ini menjadi Rp14 triliun tahun depan.
Lana berujar jika skema reward and punishment yang direncanakan tahun depan kepada daerah tidak tepat, kegagalan penyerapan akan semakin besar. Pada gilirannya, rendahnya penyerapan belanja modal akan menghambat laju PDB.
Menurutnya, konversi penyaluran dana bagi hasil (DBH) dan dana alokasi umum (DAU) dalam bentuk nontunai seperti surat utang negara belum bisa sepenuhnya memberikan solusi penyerapan anggaran karena berpotensi disalahgunakan lewat ambil untung penerbitan kupon.
Jika demikian, tren penumpukan selisih lebih perhitungan anggaran (SiLPA) daerah tiap tahunnya akan kembali terjadi. Seperti diberitakan Bisnis sebelumnya, tahun ini pemerintah memproyeksi SiLPA daerah melesat di posisi lebih dari Rp130 triliun lebih tinggi dari capaian 2014 dan 2013, masing-masing Rp122,7 triliun dan Rp100,6 triliun.
Indikasi itu terlihat dari semakin tingginya dana simpanan pemerintah daerah (pemda) di perbankan per September 2015 senilai Rp291,5 triliun, lebih tinggi dari posisi Agustus dan Juli masing-masing Rp261,9 triliun dan Rp261,4 triliun.
Risiko Penerimaan
Tidak hanya risiko dari rendahnya penyerapan, dengan tumpuan belanja dan investasi pemerintah, akselerasi penerimaan negara khususnya pajak juga menjadi ancaman. Yustinus Prastowo, Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) menilai target penerimaan pajak (minus PPh migas) tahun depan Rp1.318,69 triliun terlalu optimistis, meskipun hanya naik sekitar 6% dari target tahun ini.
Menurutnya, proyeksi shortfall selisih antara realisasi dan target Rp120 triliun yang digunakan menjadi basis awal penghitungan target tahun depan akan terus melebar. Hasil hitungannya, dengan realisasi 80% dari target Rp1.244,7 triliun, target tahun depan tetap akan naik hingga 32%.
"Logika APBN yang selalu tumbuh dan menaik menjadikan argumen target diturunkan menjadi enggak populer. Agaknya skenarionya APBNP dengan memangkas target lagi," katanya.
Dengan demikian, peluang dimasukkannya kembali anggaran kementerian/lembaga sekitar Rp29,2 triliun yang telah dipangkas ke dalam RAPBN Perubahan sangat tipis, bahkan nyaris tidak ada. Menurutnya, kondisi ini merupakan imbas dari kesalahan target saat APBNP 2015.
Prastowo mengimbau agar pemerintah mengakui dan mengambil langkah tidak populer dalam satu masa dengan tidak menarik target penerimaan pajak. Jika tidak dipangkas, persoalan ini akan akut dan merugikan dalam jangka menengah.