Bisnis.com, JAKARTA – Sebagai upaya optimalisasi penyerapan alokasi anggaran, penyaluran dana bagi hasil (DBH) akan dicairkan sesuai dengan anggaran yang telah dipatok dalam APBN.
Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro mengatakan penyaluran DBH selama ini berbasis realisasi tahun anggaran berjalan walaupun sudah ada pagu dalam APBN. Skema tersebut kurang efektif karena mengakibatkan adanya penumpukan dana.
“Kami perbaiki DBH disalurkan sesuai anggaran jadi tidak ada lagi ‘kejutan akhir tahun’,” ujarnya saat menghadiri rapat kerja dengan komisi XI DPR, Selasa (8/9/2015).
DBH merupakan dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dibagihasilkan kepada daerah berdasarkan angka persentase tertentu.
DBH meliputi bagi hasil penerimaan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25/29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri dan PPh Pasal 21 serta sektor pertambangan panas bumi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2003 tentang Panas Bumi.
Selain itu, dana reboisasi yang semula termasuk bagian dari DAK, dialihkan menjadi DBH.
Tahun depan, DBH dalam RAPBN 2016, DBH dianggarkan Rp107,26 triliun atau turun sekitar 2,5% dari pagu dalam APBNP 2015 Rp110,05 triliun.
Bambang menegaskan turunnya rencana pagu tersebut diakibatkan masih adanya penurunan harga minyak.
Menurutnya, basis realisasi membuat penumpukan di akhir tahun karena data kuartal III akan menumpuk dengan kuartal IV.
Kondisi ini pada akhirnya mengakibatkan adanya penumpukan sisa lebih pembiayaan anggaran (Silpa) dan tidak mampu menggerakkan perekonomian pada tahun anggaran berjalan.
Dalam Undang-Undang No. 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah memang disebutkan DBH yang merupakan bagian dari daerah disalurkan berdasarkan realisasi penerimaan tahun anggaran berjalan.
Dirjen Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan Boediarso Teguh Widodo menjelaskan adanya time lag dengan skema berbasis realisasi tersebut dijalankan dengan pemakaian prognosis pada kuartal IV.
Artinya, kuartal I hingga kuartal III memakai realisasi secara pasti, sementara kuartal IV menggunakan perkiraan.
Nantinya, adanya penyaluran sesuai anggaran memang masih akan menyisakan kurang atau lebih bayar DBH. Kurang ataupun lebih bayar tersebut, lanjutnya, akan dijadikan patokan perhitungan DBH tahun anggaran berikutnya.
“Tahun ini dimulai, di APBNP kemarin kan juga sudah turun, jadi ya sudah kita salurkan saja sesuai dengan yang ada,” katanya.
Dengan adanya perbaikan dari sisi penyaluran DBH tersebut, lanjutnya, diharapkan tidak ada lagi alasan rendahnya penyerapan belanja di tiap daerah yang berimbas pada pertumbuhan ekonomi per daerah.
Kemenkeu mencatat dalam kurun 2011-2014, dana simpanan pemda di bank cenderung meningkat. Bahkan, posisi per akhir Juni 2015 Rp273,5 triliun.
Satu bulan setelahnya, yakni per Juli 2015 ada penurunan sekitar Rp12 triliun menjadi Rp261 triliun.
Kondisi ini, lanjut dia, sudah mulai menunjukkan jalannya penyerapan APBD, baik yang bersumber dari PAD maupun dana transfer daerah.
Dia menegaskan rencana konversi penyaluran DAU dan DBH secara tunai menjadi Surat Berharga Negara (SBN) bertenor tiga bulan atau lazim disebut Surat Perbendaharaan Negara (SPN) yang tidak bisa diperdagangkan (non-tradable) tetap akan dijalankan.
“Yang kena sanksi nanti kita akan liat. Ya memang potensinya ada, tadi disebut Pak Menteri kan banyak yang pengendapannya sampai 19 triliun, itu kan besar sekali,” katanya.