Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Larangan Ekspor Dilonggarkan, Perusahaan Smelter Protes Merasa Dikerjai

Rencana relaksasi larangan ekspor mineral dan batubara oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral menuai banyak protes dari perusahaan smelter. Mereka merasa dikerjai.
Presiden Joko Widodo menandatangani prasasti disaksikan Menteri Perindustrian Saleh Husin, Chairman SMI Halim Mina, Investor SMI Mr. Xiang Guangda, Gubernur Sulawesi Tengah Longki Aladin Djanggola, dan Bupati Morowali Anwar Hafiddan pada acara peresmian Smelter Nikel PT. Sulawesi Mining Investment di Kecamatan Bahodopi, Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah, 29 Mei 2015./http://www.kemenperin.go.id
Presiden Joko Widodo menandatangani prasasti disaksikan Menteri Perindustrian Saleh Husin, Chairman SMI Halim Mina, Investor SMI Mr. Xiang Guangda, Gubernur Sulawesi Tengah Longki Aladin Djanggola, dan Bupati Morowali Anwar Hafiddan pada acara peresmian Smelter Nikel PT. Sulawesi Mining Investment di Kecamatan Bahodopi, Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah, 29 Mei 2015./http://www.kemenperin.go.id

Bisnis.com, JAKARTA - Rencana relaksasi larangan ekspor mineral dan batubara oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral menuai banyak protes dari perusahaan smelter. Mereka merasa dikerjai.

Sebanyak 21 perusahaan smelter dengan total investasi mencapai US$30 miliar menyatakan kebijakan ini akan membunuh perusahaan smelter tanah air dan merusak kredibilitas Indonesia di mata investor asing.

Alexander Barus, Vice President Director PT Bintang Delapan Mineral, mengatakan PT Sulawesi Mining Investment telah menggelontorkan investasi sebesar US$2,3 miliar dalam pembangunan smelter nikel. “Jika ekspor mentah dibuka lagi, mati kita,” tuturnya.

Eddy S. Setiawan, Direktur PT Century Metalindo, penghasil nikel dan silicon mangan, mengatakan Presiden Joko Widodo secara resmi harus menegaskan bahwa larangan ekspor mineral mentah tidak akan direlaksasi guna menciptakan kepastian hukum bagi industri smelter.

“Kami selaku pengusaha smelter sangat resah dengan informasi yang beredar. Jika relaksasi ini benar-benar dilakukan, maka perusahaan kami akan hancur. Pasalnya, hingga saat ini aktivitas produksi terus tersendat akibat tidak adanya kepastian pasokan bahan baku,” tuturnya.

Saat ini, lanjutnya, perusahaan memproduksi nikel dengan kapasitas 150 ton setara nikel murni per bulan serta silicon mangan dengan volume 1.300 metric ton per bulan. Sulitnya mendapatkan kepastian bahan baku dari pemilik IUP menjadikan ongkos produksi tinggi.

Menurutnya, untuk mempercepat ekspor hasil tambang bernilai tambah, pemerintah harus tegas mencabut IUP perusahaan yang tidak melakukan penambangan serta tidak berkomitmen membangun smelter.

Dengan demikian, IUP yang telah dicabut dapat diberikan kepada penambang lain yang berkomitmen melakukan penambangan atau kepada perusahaan smelter yang telah berproduksi. Dengan demikian, akan tercipta keseimbangan antara pasokan bahan baku dengan proses pemurnian.

Petrus Tjandra, Senior Advisor PT Refined Bangka Tin, mengatakan ekspor mineral mentah bentuk ketidakkonsistenan pemerintah melaksanakan program hilirisasi walaupun dihantam penurunan ekspor serta depresiasi rupiah.

“Kami ini salah satu dari 14 perusahaan dunia yang diakui oleh London Metal Exchange, sehingga timah hasil produksi dapat diperdagangkan langsung tanpa perantara. Jika ekspor mineral mentah dibuka lagi kami dapat bahan baku dari mana, yang mendapatkan keuntungan justru Malaysia dan Thailand,” ujarnya.

Saat ini, lanjutnya, perusahaan memiliki kapasitas desain produksi sebesar 12.000 ton per tahun dengan rencana kerja dan anggaran belanja (RKAB) yang disetujui pemerintah sebanyak 10.000 ton per tahun. Dengan hak konsesi seluas 30.000 hektare di darat dan laut, sejak 2009 hasil produksi 100% untuk ekspor.

Haykel Hubeis, Wakil Direktur Utama PT Delta Prima Steel, mengatakan mayoritas industri smelter Tanah Air saat ini kesulitan mendapatkan kepastian bahan baku. Pasalnya, sejumlah pemilik IUP tidak melaksanakan aktivitas pertambangan.

“Sejumlah pemilik IUP enggan memenuhi spesifikasi hasil tambang yang dibutuhkan oleh smelter. Mereka hanya ingin memasok batu dan tanah tanpa spesifikasi yang dibutuhkan oleh mesin smelter,” ujarnya.

Data asosiasi menunjukkan, dari 21 perusahaan smelter, 10 unit di antaranya masih dalam tahap penyelesaian pembangunan, sisanya telah beroperasi. Adapun sejumlah perusahaan tersebut antara lain, PT Delta Prima Steel, PT Meratus Jaya Iron & Steel, PT Krakatau Posco.

Kemudian, PT Smelting, PT Refined Bangka Tin, PT Tinindo Internusa, PT Well Harvest Winning Alumina, PT Indotama Ferro Alloys, PTCenturi Metalindo, PT Aneka Tambang, PT Fajar Bhakti Lintas Nusantara, PT Bintang Smelter Indonesia, PT Macika Mineral Industri.

PT Sulawesi Mining Investment, PT Cahaya Modern Metal Industri, PT Bintang Timur Steel, PT Centuri Metalindo, PT Indoferro, PT Karyatama Konawe Utara, PT Heng Tai Yuan Indonesia Steel, PT Kinlin Nickel Industry, dan PT Monokem Surya


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper