Bisnis.com, JAKARTA—Pelaku industri pengolahan bahan baku mineral atau smelter mengatakan pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat yang begitu tajam meningkatkan ongkos pembangunan pabrik hingga 15%.
Haykel Hubeis, Wakil Direktur Utama PT Delta Prima Steel, mengatakan depresiasi rupiah mendongkrak biaya pembangunan pabrik karena mayoritas mesin pemurnian didatangkan dari luar negeri.
“Banyak mesin pemurnian yang harus dibuat dahulu di luar negeri baru di kirim. Untuk major equipment pembuatan memakan waktu empat hingga lima bulan, akibatnya ketika pembayaran pengusaha mengalami rugi kurs yang cukup tinggi,” tuturnya kepada Bisnis.com
Peningkatan harga tidak hanya dialami dalam pembuatan mesin, tetapi juga pada komponen lain seperti logistik. Dari 18 industri smeslter yang telah mendapatkan izin pembangunan, baru delapan unit perusahaan yang telah beroperasi.
Dengan demikian, lanjutnya, dari 10 perusahaan yang akan maupun tengah melakukan pembangunan, 40% di antaranya mengalami peningkatan ongkos proyek. Bahkan, bagi yang belum melakukan pembangunan, terindikasi menahan realisasi pengerjaan proyek.
Guna mempercepat hilirisasi mineral tambang di tengah depresiasi rupiah, lanjutnya, pemerintah perlu memberi insentif khusus dalam pengurangan pajak impor mesin produksi. Selain itu, harus dibentuk kebijakan yang mempermudah pembelian bahan baku baik nikel, bijih besi maupun bauksit.
Negara juga harus mengatur suplai bahan baku untuk industri smelter. Selama ini tidak adanya alur kerja sama khusus antara penambang dengan smelter telah mengakibatkan pabrik pemurnian kesulitan mendapatkan pasokan bahan baku yang sesuai dengan spesifikasi mesin.
Kendala yang dihadapi industri smelter, lanjutnya, tidak berhenti di situ. Industri yang tergolong pioner ini kerap kali kesulitan mendapatkan pasar di dalam negeri. Bahkan akibat tidak terserap di dalam negeri, sejumlah perusahaan langsung mengekspor mineral hasil pemurnian.
“Jika pasokan barang dari smelter dalam negeri telah ada, seharusnya pasar domestik diwajibkan menyerapnya, jangan impor dari negara lain seperti China. Jika pengutamaan produk dalam negeri dilakukan, maka industri smelter dapat tumbuh serta tercipta iklim usaha yang stabil,” tuturnya.
Selama ini, lanjutnya, sejumlah perusahaan baja dalam negeri baik badan usaha milik negara (BUMN) maupun swasta, lebih memilih impor billet atau baja batangan hasil pengecoran bijih besi dari China ketimbang menyerap produksi dalam negeri.
Pemilihan produk China seiring dengan harga yang lebih murah ketimbang hasil produksi smelter dalam negeri. Selain itu, selama ini, Indonesia belum memiliki database potensi ketersediaan bahan baku di dalam negeri untuk mineral bijih besi.
“Koordinasi antarkementerian yang lemah diperparah dengan koordinasi dengan pemerintah daerah yang tidak harmonis, akibatnya pengusaha yang diberatkan. Pemerintah harus memangkas ongkos yang tidak perlu seperti pungutan liar serta memperbaiki infrastruktur baik jalan, pelabuhan dan lainnya,” katanya.