Bisnis.com, JAKARTA – Kinerja industri obat tradisional dan jamu sepanjang semester pertama stagnan dibandingkan semester lalu yang nilainya berkisar Rp3 triliun. Penurunan malah terjadi memasuki semester kedua.
Dwi Ranny Pertiwi Zarman, Ketua Umum Gabungan Perusahaan Jamu, mengatakan bahwa hal tersebut disebabkan oleh momentum Lebaran dan tahun ajaran baru. Selain itu faktor nilai tukar rupiah terhadap dolar AS juga jadi salah satu faktor pembeban.
Menurutnya, pengaruh dolar AS tetap dominan dalam industri tersebut sebab hampir semua elemen produksinya tak terlepas dari impor. Baik itu bahan baku, plastik,botol, kapsul, hingga sachet kemasan.
“Untuk beberapa, memang tidak cukup yang didalam negeri [untuk kemasan]. Tapi ada juga yang memang tidak diproduksi. Bagaimana, jualnya tidak bisa naik sementara daya beli turun,” ujarnya kepada Bisnis.com.
Dia menjelaskan pada umumnya industri obat tradisional meraup sekitar Rp5 triliun-Rp7 triliun per tahun. Namun dengan kondisi rupiah yang kian turun serta daya beli yang semakin surut, dia tidak berani menargetkan raihan hingga akhir 2015 ini.
“Tapi secara keseluruhan saya rasa akan ada penurunan. Sekarang sudah banyak efisiensi, dan banyak yang mengurangi produksi. Kelihatan dari lembur yang sudah tidak ada, shift malah juga tidak ada. Yang tadinya kerja 6 hari jadi 5 hari,” imbuh Dwi.
Beberapa perusahaan, menurutnya, melakukan langkah efisiensi yang beragam, mulai dari memutus penyuplai yang tidak terlalu menguntungkan, mencari opsi yang lebih kompetitif dalam kegiatan produksi dan distribusi, memprioritaskan produksi produk yang berpotensi dengan margin yang baik, hingga mengurangi kegiatan internal seperti peningkatan kapasitas maupun program hiburan bagi karyawan.