Bisnis.com, JAKARTA – Depresiasi rupiah seharusnya membuat posisi Indonesia lebih menguntungkan dibanding China meskipun negara tersebut mendevaluasi mata uangnya. Sayangnya, belum siapnya produk ekspor berbasis manufaktur dengan lokal konten tinggi membuat kondisi tersebut sia-sia.
Direktur Pengembangan Pasar dan Informasi Ekspor Ditjen Pengembangan Ekspor Nasional Kementerian Perdagangan Ari Satria mengatakan, bagi Indonesia rupiah secara bertahap juga telah mengalami penurunan nilai tukar terhadap dolar AS, bahkan lebih tinggi dibandingkan dengan devalasi yuan.
Pada periode Januari – Juli 2015 nilai rupiah terhadap dolar turun 8,5% terhadap dolar AS, sementara devaluasi yuan antara 1,9% - 2%. Artinya, seharusnya produk ekspor Indonesia memiliki daya saing yang lebih tinggi dari produk China, meskipun barang-barang mereka menjadi lebih murah.
Sementara itu, berdasarkan data Badan Pusat Statistik neraca perdagangan non migas Indonesia dengan China pada periode Januari – Juni 2015 masih mengalami defisit sebesar US$8,04 miliar atau naik 30,14% dibanding periode yang sama pada 2014 sebesar US$6,18 miliar.
Peningkatan defisit neraca perdagangan tersebut disebabkan karena merosotnya ekspor Indonesia ke China pada periode tersebut. Ekspor Indonesia ke China periode Januari – Juni mencapai US$6,65 miliar atau turun 25,92% dibanding periode yang sama tahun lalu. Sedangkan impor Indonesia dari China mencapai US$14,70 miliar atau turun 3,05% dibandingkan periode yang sama tahun lalu sebesar US$15,16 juta.
“Masalahnya, sebagian ekspor kita itu konten impornya tinggi. Dengan mata uang kita yang terdepresiasi, harga bahan baku menjadi lebih mahal. Akibatnya, produsen tidak bisa menjual dengan harga murah, karena cost-nya akan menjadi lebih tinggi,” kata Ari.
Secara teoretis, lanjutnya, Indonesia seharusnya bisa memanfaatkan momentum pelemahan rupiah untuk menggenjot ekspor ke China, khususnya untuk produk dengan konten lokal yang tinggi. Contohnya adalah produk pertanian, perikanan, dan perkebunan. Dengan catatan, produk-produk tersebut sudah memiliki nilai tambah, dan bukan hanya berupa komoditas. Alasannya, harga komoditas cenderung fluktuatif.
Sejumlah produk ekspor Indonesia ke China bahkan mengalami penurunan nilai ekspor yang cukup tinggi pada periode Januari – Mei 2015 dibanding periode yang sama pada 2014, terutama untuk produk-produk ekspor yang merupakan komoditas. Produk-produk tersebut diantaranya seperti batubara (-48,65%), nikel (-100,00%), karet alam (-61,95%), karet kompon (41,61%), dan beberapa produk lainnya.
Ari mengatakan, secara makro, pelemahan ekspor akan memukul beberapa produk ekspor Indonesia. Tetapi di sisi lain, juga ada beberapa produk ekspor yang diuntungkan.