Bisnis.com, JAKARTA – Direktur Pengembangan Pasar dan Informasi Ekspor Direktorat Pengembangan Ekspor Nasional Kementerian Perdagangan Ari Satria menilai selisih perdagangan antara Indonesia dan China akan semakin melebar dengan adanya devaluasi Yuan.
“Itu kan tujuan dia. Untuk memperbaiki ekspor mereka maka mereka mendevaluasi Yuan. Dari sisi kita, takutnya impornya jadi tinggi,” kata Ari.
Produk ekspor Indonesia yang ditujukan ke pasar China, lanjutnya, pun akan lebih sulit untuk masuk ke pasar tersebut. Pasalnya, produk-produk tersebut akan menjadi lebih mahal sehingga mengurangi daya saing produknya.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), ekspor nonmigas Indonesia ke China pada Januari – Juli 2015 mencapai US$7,75 miliar atau turun 23,69% dibanding ekspor pada periode yang sama tahun lalu US$10,16 milar.
Sedangkan impor nonmigas Indonesia dari China pada periode Januari–Juli 2015 mencapai US$16,49 miliar atau turun 4,64% dibanding periode yang sama 2014 sebesar US$17,303.
Hasilnya, neraca perdagangan Indonesia–China pada periode Januari–Juli 2015 menyebabkan defisit bagi Indonesia sebesar US$8.74 miliar atau naik 20,36% dari defisit neraca perdagangan sebelumnya sebesar US$7,17 miliar.
Adapun, pada periode Januari–Juli 2015 China menjadi salah satu negara tujuan ekspor utama Indonesia dengan kontribusi sebesar 9,89% dari total ekspor Indonesia.
Kontribusi tersebut membuat China menjadi negara tujuan ekspor kedua terbesar bagi Indonesia setelah Amerika Serikat dengan kontribusi sebesar 11,48%.
Ari mengatakan, akan menjadi tantangan bagi Indonesia untuk membendung impor sekaligus menerobos pasar China dengan harga barang yang lebih kompetitif.
“Kita mesti menyusun strategi yang lebih baik,” ujarnya.