Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

INDUSTRI PETERNAKAN: Multinasional Ekspansi, Perunggasan Rakyat Rugi Rp12 Triliun

Usaha perunggasan rakyat dalam negeri selama Januari hingga Juni 2015 mengalami kerugian mencapai Rp12 triliun akibat ekspansi perusahaan peternakan unggas multinasional besar-besaran di tanah air.
Peternakan unggas/disnak.jabarprov.go.id
Peternakan unggas/disnak.jabarprov.go.id

Bisnis.com, JAKARTA - Usaha perunggasan rakyat dalam negeri selama Januari hingga Juni 2015 mengalami kerugian mencapai Rp12 triliun akibat ekspansi perusahaan peternakan unggas multinasional besar-besaran di tanah air.

Ketua Umum Perhimpunan Insan Perunggasan Rakyat Indonesia (Pinsar Indonesia) Singgih Januratmoko di Jakarta, Jumat (26/6/2015), mengatakan sejak akhir 2013 peternak ayam broiler atau pedaging mengalami kerugian terus menerus.

Pada 2014 kerugian yang diderita peternak rakyat mandiri tersebut mencapai Rp7,5 triliun. "Para pembibit raksasa melampiaskan ambisinya untuk ekspansi secara berlebihan sejak mereka menikmati kondisi perunggasan yang menguntungkan selama periode 2010-2012," katanya.

Ekspansi mereka sangat agresif, tambahnya, terutama perusahaan yang sudah "go public" seperti PT Charoen Pokphand Indonesia Tbk, PT Japfa Comfeed Indonesia, PT Malindo Feedmill Tbk.

Pertumbuhan para integrator tersebut cukup tinggi, terutama PT CPI sangat luar biasa hingga hampir tiga kali lipat selama empat tahun terakhir atau rata-rata 45% per tahun.

Padahal, lanjut Singgih, pertumbuhan rata-rata daya serap produk unggas nasional hanya sekitar 1,5 -2 kali pertumbuhan ekonomi nasional yaitu 7,5% -12% per tahun.

"Ambisi ini yang menjadi sumber rusaknya pasar perunggasan nasional. Perusahaan-perusaan raksasa tersebut memberikan kontribusi terbesar dalam pengrusakan pasar ayam broiler," katanya.

BACA JUGAINDUSTRI PETERNAKAN: Sentuh Titik Terburuk

Menurut dia, pasokan ayam broiler nasional mencapai 64 juta ekor per minggu sementara daya serap pasar maksimal saat ini hanya 47 juta ekor per minggu atau kelebihan pasokan 17 juta ekor per minggu.

"Dampaknya harga ayam broiler terpuruk di bawah harga pokok penjualan (HPP) yang membuat kerugian peternak selama dua tahun," katanya.

Dia menyatakan, kondisi tersebut mengakibatkan jumlah peternak rakyat mandiri tinggal 18% dari populasi secara nasional, sementara yang 82% dikuasai perusahan besar, bahkan di beberapa provinsi sudah tidak ada peternak mandiri.

BACA JUGA IINDUSTRI PETERNAKAN: PMA Habisi Ternak Rakyat

"Sudah banyak peternakan ayam broiler mandiri di wilayah Sumatra, Jawa Tengah dan Jawa Timur yang bangkrut akibat over supply dan kandang-kandang mereka diambil alih para integrator raksasa," katanya.

Ketua Dewan Pembina Pinsar Indonesia Hartono menyayangkan hingga saat ini belum ada upaya nyata dari pemerintah untuk mengatasi persoalan yang menimpa perunggasan rakyat ini.

"Pemerintah harus segera mengatur tata niaga dan tata budi daya agar bisa berkeadilan," katanya.

Menurut dia, pemerintah bisa mengendalikan pasokan di hulu untuk menyeimbangkan demand-supply agar tidak terjadi "predatory pricing" harga ayam seperti dua tahun terakhir yang membunuh peternak rakyat.

Hartono menyatakan, bila kondisi ini dibiarkan berlanjut maka pada 2016 produksi broiler nasional akan mencapai 90 juta ekor per minggu atau dua kali lipat dari harga serap pasar. Akan terjadi pemusnahan peternakan rakyat mandiri secara sistematis.

"Akhirnya penguasaan pasar pasti akan didominasi perusahaan raksasa seperti PT CPI yang berpotensi memproduksi DOC FS broiler sebanyak 2,5 miliar ekor per tahun pada 2016," katanya.

Artinya, tambah Hartono, hanya satu perusahaan raksasa sudah mampu memenuhi kebutuhan pasar nasional yang hanya 2,4 miliar ekor pada 2015 ini, atau monopoli 100%.

Dia mengharapkan jumlah peternak rakyat mandiri bisa kembali meningkat mencapai 40% hingga 70%  dari pangsa usaha budi daya nasional.

Ketua Pinsar Unggas Jawa Timur Kholiq menyatakan, kerugian yang dialaminya mencapai Rp26,5 miliar bahkan banyak peternak unggas di Jawa Timur yang akhirnya harus menanggung utang.

"Selama tujuh bulan terakhir ini kami mengalami minus (keuntungan). Harga ayam di tingkat peternak hanya Rp9000-Rp12.000/kg sedangkan BEP (break event point) Rp13.500/kg," katanya.

Oleh karena itu, pihaknya mendesak pemerintah untuk lebih berperan dalam melindungi peternak rakyat dari kehancuran.

"Pemerintah harus membuat regulasi yang melindungi peternak rakyat jangan dibiarkan bebas bertarung (dengan perusahaan raksasa)," katanya.

BACA JUGA

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Redaksi
Sumber : Antara

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper