Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

BEA KELUAR (BK), Shortfall Penerimaan Mengintai

Target penerimaan dari pos bea keluar (BK) sesuai APBNP 2015 Rp12,05 triliun dipastikan tidak akan tercapai jika harga komoditas crude palm oil (CPO) tidak menunjukan adanya perbaikan di pertengahan hingga akhir tahun ini.
Ilustrasi. Rata-rata tarif BK CPO 2014 sebesar 8,38% lebih rendah dari rata-rata tarif BK CPO 2013 sebesar 9,63%. /Bisnis
Ilustrasi. Rata-rata tarif BK CPO 2014 sebesar 8,38% lebih rendah dari rata-rata tarif BK CPO 2013 sebesar 9,63%. /Bisnis

Bisnis.com, JAKARTA – Target penerimaan dari pos bea keluar (BK) sesuai APBNP 2015 Rp12,05 triliun dipastikan tidak akan tercapai jika harga komoditas crude palm oil (CPO) tidak menunjukan adanya perbaikan di pertengahan hingga akhir tahun ini.

Direktur Penerimaan, Peraturan Kepabeanan dan Cukai (PPKC) Ditjen Bea dan Cukai (DJBC) Heru Pambudi mengatakan penerimaan BK tahun ini tergantung dari perkembangan harga komoditas tersebut selain mengandalkan kuota ekspor konsentrat tembaga dari Freeport dan Newmont.

“Kita lihat perkembangan harga CPO. Kalau perkembangannya baik ya masih optimistis kalau tidak ya susah tercapai [penerimaan BK-nya],” ujarnya, Selasa (9/6/2015).

Sejak 2012 performa penerimaan BK menurun dan mengalami shortfall Rp1,86 triliun atau 8% dari target APBNP 2012. Shortfall pun mengalami tren melebar hingga tahun lalu kendati secara nilai target diturunkan. Shortfall tercatat Rp9,3 triliun karena penerimaan BK hanya 54,98% dari target APBNP 2014 Rp 20,6 triliun.

Rata-rata tarif BK CPO 2014 sebesar 8,38% lebih rendah dari rata-rata tarif BK CPO 2013 sebesar 9,63%. Ironisnya, tarif BK CPO menjadi 0% mulai Oktober hingga Desember karena harga referensi selalu berada di bawah US$750 per metrik ton (MT).

Sesuai Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 75/2012 tentang Penetapan Barang Ekspor yang Dikenakan Bea Keluar dan Tarif Bea, jika harga referensi CPO di bawah US$750 per MT maka tidak dikenai BK, sedangkan jika harga bergerak ke kisaran US$750-US$850 per MT akan dikenai 7,5% dan ketika harga referensi menyentuh US$1.250 per MT akan dipungut 22,5%.

Heru berujar harga komoditas di tingkat global memang tidak bisa dikendalikan pemerintah. Apalagi, tren perlambatan ekonomi global maupun nasional juga akan berdampak pada penerimaan BK.

Hingga akhir Mei, pos penerimaan BK masih melanjutkan tren perlambatan yang cukup tajam. Pada periode itu, penerimaan BK tercatat hanya Rp1,5 triliun atau anjlok 74,14% dari realisasi tahun lalu Rp5,84 triliun. Bahkan, realisasi itu hanya 12,4% dari target APBNP 2015.

Konsentrat Tembaga

Kendati masih terkontraksi, penerimaan BK per akhir Mei tersebut menunjukkan adanya lonjakan dari penerimaan. Akhir April 2015, penerimaan BK tercatat senilai Rp1,02 triliun. Artinya, ada tambahan sekitar Rp533 miliar.

Mantan Direktur Fasilitas DJBC ini mengungkapkan mayoritas penerimaan BK masih berasal dari konsentrat tembaga. Penerimaan BK dari konsentrat tembaga, baik Freeport dan Newmont tercatat Rp401 miliar.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper