Bisnis.com, JAKARTA – Setelah ditunda sejak akhir 1985, pemerintah akan kembali menerapkan ketentuan pembatasan rasio utang terhadap modal (debt to equity ratio / DER). Namun, ketentuan DER 3:1 melonggar menjadi 4:1.
Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro mengatakan patokan 4:1 dipilih karena populasi terbesar ada pada perusahaan dengan tingkat DER 3:1 sehingga masih dianggap wajar. Dengan batasan tersebut, besaran utang lebih dari 80% tidak bisa dibebankan sebagai biaya.
“Selama ini kan biaya bunga boleh dibiayakan berapapun tidak ada batasannya. Kalau dengan batasan itu, yang boleh dibiayakan ya 4:1. Artinya, di atas 80% ya dibayar pajaknya,” katanya.
Selain meredam tingkat utang swasta khususnya utang luar negeri, Bambang berujar pemerintah ingin ada penguatan dari sisi modal bagi perusahaan yang berinvestasi di Tanah Air. Penguatan modal, sambungnya, akan menghindari perusahaan-perusahaan yang hanya mengandalkan pinjaman atau utang.
Dia mengungkapkan selama ini utang luar negeri swasta yang naik tidak semuanya berasal dari utang komersial bank. Ada shareholder loan – pinjaman dari pemilik sendiri / perusahaan induk di luar negeri – yang tetap dihitung sebagai biaya.
Dalam sistem perpajakan Indonesia, sesuai Undang-Undang No. 7/1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UU No. 36/200, loan financing akan berdampak pengurangan dasar pengenaan pajak karena bunga yang dibayar dibebankan sebagai biaya.
Biaya-biaya tersebut, sesuai pasal 5 ayat 2, boleh dikurangkan dari penghasilan bentuk usaha tetap. Untuk mengatur besarnya utang terhadap modal, Menteri Keuangan diberikan wewenang mengeluarkan keputusan terkait DER seperti yang disebutkan dalam pasal 18 ayat 1.
Pada 1984, patokan DER ini sebenarnya sudah pernah dikeluarkan Menteri Keuangan Radius Prawiro lewat Keputusan Menteri Keuangan Nomor (KMK) 1002/KMK.04/1984 tentang Penentuan Perbandingan Antara Hutang Dan Modal Sendiri Untuk Keperluan Pengenaan Pajak Penghasilan.
Dalam beleid tersebut, DER dipatok 3:1. Namun, kebijakan yang berlaku per 8 Oktober 1984 tersebut tidak berlaku karena pada 8 Maret 1985, pemerintah mengeluarkan KMK Nomor 254/KMK.01/1985 tentang Penundaan Pelaksanaan KMK Nomor 1002/KMK.04/1984.
Penundaan itu pun tidak diikuti kepastian waktu pemberlakuan kembali. Dalam aturan itu hanya dikatakan penundaan sampai waktu yang ditentukan Menkeu kemudian. Selain itu, keputusan itu berlaku surut sejak 8 Oktober 1984 – berlakunya patokan DER 3:1 –. Langkah ini dipicu adanya pro kontra dari pelaku usaha.
Bambang menegaskan aturan ini akan berlaku per 1 Januari 2016. Namun demikian, dia mengharapkan saat ini semua perusahaan bisa menyesuaikan ketentuan yang ada. Menurutnya, langkah ini akan mendorong roda perekonomian khususnya sektor riil dengan masuknya investasi atau modal.
“Kita ingin inflow modal ke sektor riil ya bener-bener inflow yang cukup serius. Pokoknya akan berlaku 1 Januari 2016. Kalau dadakan kan enggak punya waktu buat beresin. Jadi saat ini perusahaan bisa menyesuaikan secara teratur,” tegasnya
Regulasi ini, lanjutnya, tidak akan berlaku untuk beberapa sektor yang sudah secara ketat tingkat DER-nya seperti sektor perbankan, keuangan, dan kontrak-kontrak karya pertambangan. Patokan 80% utang dan 20% modal ini akan berlaku untuk sektor di luar itu.