Bisnis.com, MEDAN—Wakil Gubernur Sumatra Utara Tengku Erry Nuradi mengajukan keberatan terkait penerbitan Surat Keputusan Kementerian Kehutanan No.579/2014 tentang Kawasan Hutan Provinsi Sumut.
Adapun, SK Kemenhut tersebut merupakan pengganti SK No.44/2005 yang telah dibatalkan oleh Mahkamah Agung.
Erry menuturkan, saat ini area perkebunan kelapa sawit di Sumut telah mencapai 1,2 juta hektare atau 24,9% dari seluruh wilayah Sumut. Adapun, produksi crude palm oil (CPO) per tahun mencapai 3 juta ton.
"Kami sudah lama mengajukan pelepasan 1,2 juta hektare tersebut dari kawasan hutan. Namun, baru sekitar setengahnya yang disetujui melalui SK pada tahun lalu itu. Keputusan dalam SK tersebut tidak bottom up. Gapki [Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia] Sumut masih kecewa karena banyak area yang sudah mendapatkan sertifikat, tapi masih masuk ke SK," ucap Erry, Kamis (23/4/2015).
Berdasarkan SK No.579/2014, ditetapkan kawasan hutan di Sumut mencapai 3,05 juta hektare. Berdasarkan fungsinya, SK menetapkan kawasan suaka alam 427.008 hektare, kawasan hutan lindung 1,2 juta hektare, hutan produksi terbatas 641.769 hektare, hutan produksi 704.452 hektare dan hutan produksi yang dapat dikonversi yakni 75.684 hektare.
Lebih lanjut, Erry menyebutkan, perkebunan kelapa sawit pada saat ini masih menjadi salah satu penopang pertumbuhan ekonomi di Sumut. Tak hanya dari produksi kelapa sawit dan hasil olahannya seperti CPO, tetapi juga penyerapan tenaga kerja. Sumut, lanjutnya, merupakan provinsi kedua terbesar penghasil komoditas ini setelah Riau.
"Sumut tentu sangat berkepentingan terhadap komoditas dan industri kelapa sawit. Sudah berapa banyak devisa per tahun yang dihasilkan dari kelapa sawit. Perkebunan kelapa sawit di Sumut telah jauh-jauh hari sebelum kemerdekaan Indonesia ada yakni pada 1911 di Puloraja dan Tanah Itam," jelas Erry.
Kendati demikian, Erry berharap para pengusaha kelapa sawit Sumut dapat memanfaatkan tambahan lahan hutan produksi yang dapat dikonversi berdasarkan SK tersebut. Sebelumnya, total luas lahan HPK berdasarkan SK No.44/2005 hanya 52.760 hektare.
Staf Ahli Menteri Kehutanan Bidang Keamanan Hutan Basuki Karya Admaja mengatakan SK tersebut merupakan hasil dari usulan pemerintah daerah.
"Kami selalu berbasis usulan pemda. Kami beranggapan kalau tidak ada usulan, ya tidak ada persoalan. Pengusaha bisa memanfaatkan tambahan HPK pada tahun ini," tutur Basuki.
Lebih lanjut, Basuki mengatakan pengembangan kelapa sawit merupakan sektor perekonomian berbasis lahan. Adapun, selama ini penggunaan luas lahan perkebunan selalu menimbulkan persoalan, terutama dengan masyarakat sekitar.
Basuki juga mengingatkan agar perkebunan kelapa sawit tidak menggunakan lahan gambut. Pasalnya, Kemenhut saat ini tenga fokus mengawasi penggunaan lahan gambut.
"Kelapa sawit memang bisa tumbuh di lahan gambut. Ini haru hati-hati. Moraturium penggunaan lahan gambut itu penting diperhatikan. Selain itu, pembangunan perkebunan kelapa sawit juga diharapkan melibatkan masyarakat sekitar," pungkas Basuki.