Bisnis.com,JAKARTA - Hasil analisis dan evaluasi (Anev) sementara satgas anti illegal fishing menemukan kapal eks asing yang dimiliki PT Pusaka Benjina Resources (PBR) bermasalah.
Pasalnya, perusahaan ini menggunakan Anak Buah Kapal (ABK) asing yang melanggar ketentuan, Unit Pengolahan Ikan (UPI) yang tidak beroperasi, indikasi kepemilikan kapal oleh asing, serta adanya indikasi pemalsuan dokumen kapal, seperti Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI) dan Surat Izin Pengumpul/Pengangkutan Ikan (SIKPI).
Dari data KKP, jumlah kapal yang dimiliki PBR sebanyak 101 kapal dengan rincian 92 kapal penangkap serta 9 kapal pengangkut.
Proses Anev terhadap kapal-kapal ini pun belum semua dilakukan. Sebab, sebanyak 30 kapal masih beroperasi di perairan dan belum kembali ke Pulau Benjina, Kepulauan Aru, Maluku, untuk kepentingan Anev tersebut.
Ketua Satgas Anti Illegal Fishing Mas Achmad Santosa mengatakan meski sudah ada beberapa temuan masalah, pihaknya belum memberikan rekomendasi tindakan terhadap perusahaan tersebut. Menurutnya, saat ini proses temuan itu masih diolah dan diperdalam.
Kemudian, dia mengatakan sanksi maksimal yang bisa diberikan KKP adalah mencabut SIPI dan SIKPI.
"Kalau izin perikanan kita, izin pengangkutan dan penangkapan. Kalau perusahaan, yang berikan izin BKPM [Badan Koordinasi Penanaman Modal]. Jadi nanti BKPM yang berwenang cabut izin," katanya usai konferensi pers tindak tegas KKP terhadap kasus perbudakan ABK, Selasa (7/4/2015).
Berdasarkan laporan investigasi Associated Press (AP) berjudul Are Slaves Cacthing the Fish You Buy?, PBR melakukan tindakan perbudakan terhadap ABK kapalnya. Dari laporan ini, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti memerintahkan Satgas dan jajaran KKP untuk menelusuri kasus tersebut yang juga terkait dengan indikasi illegal fishing yang dilakukan PBR.
Terkait kasus perbudakan yang terjadi di PBR, Achmad mengatakan kasus ini justru mempermudah proses Anev. Pasalnya, dengan kasus ini semua informasi menjadi terbuka.
Meski demikian, dia mengatakan KKP tidak memiliki wewenang untuk menuntaskan masalah perbudakan tersebut. Oleh karena itu, pihaknya akan berkoordinasi dengan Polri, Kementerian Luar Negeri, Kementerian Tenaga Kerja, Kementerian Sosial, dan Komnas HAM, untuk menyelesaikannya.