Bisnis.com, JAKARTA—Produsen minuman tak akan gegabah menaikkan harga jual menyusul kenaikan harga bahan bakar minyak bersubsidi.
Ketua Umum Asosiasi Minuman Ringan (Asrim) Triyono Prijosoesilo menilai lonjakan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi sekitar Rp500 tidak signifikan. Besaran ini dirasa dapat diserap produsen tanpa harus menaikkan harga jual minuman.
“Premium naiknya Rp500, masih di bawah 10% dari harga dasar sebelumnya. Tapi harga jual tidak semata terkait biaya transportasi, ada aspek daya saing produk,” katanya saat dihubungi Bisnis, Rabu (1/4/2015).
Tanpa harus menaikkan harga, penjualan minuman ringan berpotensi tertahan. Hal ini terpengaruh pergerakan konsumsi masyarakat mengingat minuman ringan bukan kebutuhan primer. Penjualan mungkin tambah anjlok jika produsen menaikkan harga jual.
Produsen berusaha menyerap kenaikan ongkos distribusi dalam struktur biaya produksi tanpa menaikkan harga. Pebisnis memantau sampai tiga bulan mendatang untuk tentukan langkah bisnis selanjutnya.
Semakin lama premium berterngger di level Rp7.300 – Rp7.400 per liter bahkan naik maka beban produsen tambah berat. “Kalau tren biaya komponen produksi meningkat dalam dua bulan, oke, barulah kami lakukan penyesuaian harga,” ujarnya.
Porsi distribusi produk setidaknya 10% dari total biaya produksi minuman ringan. Persentase ini tidak bisa dipatok rata bagi semua jenis minuman ringan. Biaya transportasi produk yang dikemas dalam botol kaca biasanya lebih besar karena harus mengambil kembali kemasan kosong.
Asrim mengaku sependapat dengan Gabungan Produsen Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia (Gapmmi), perlu ada peraturan khusus bersifat resiprokal atau saling berbalas antara harga BBM dan biaya transportasi. Formula khusus ini diharapkan bisa menjaga kepastian bisnis.
Ketua Umum Gapmmi Adhi S. Lukman mengatakan perlu ada formula penghitungan khusus sehingga bisa diperkirakan dengan penaikan atau penurunan harga BBM sebesar Rp100 berapa rupiah ongkos transportasi akan terpengaruh.
"Skema ini agar tidak setiap ada penurunan harga BBM kita jadi ribut. Kalau ribut kan buang waktu dan energi. Usul ini agar industri dan sektor transportasi enak," ujarnya.
Perhitungan yang bersifat resiprokal antara pergerakan harga bensin dan biaya transportasi akan memudahkan pengusaha.
Ketika BBM turun, ongkos angkut otomatis mengikuti tanpa perlu debat kusir yang berujung dengan penolakan sektor transportasi.