Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Sektor Konstruksi: Pengembangan SDM Jadi Tantangan Terberat

Meskipun sektor konstruksi Indonesia diprediksi akan mengalami sejumlah perkembangan positif, namun pengembangan tenaga kerja profesional masih menjadi tantangan terberat untuk memanfaatkan peluang tersebut.
Pekerja konstruksi/JIBI-Dwi Prasetya
Pekerja konstruksi/JIBI-Dwi Prasetya

Bisnis.com, JAKARTA — Meskipun sektor konstruksi Indonesia diprediksi akan mengalami sejumlah perkembangan positif, namun pengembangan tenaga kerja profesional masih menjadi tantangan terberat untuk memanfaatkan peluang tersebut.

Laporan Global Construction 2025 memproyeksikan sektor konstruksi Indonesia akan naik lima peringkat dari posisi sepuluh menuju posisi kelima sebagai pasar konstruksi terbesar dunia dalam kurun waktu 2012-2025.

Potensi yang besar tersebut mau tidak mau menuntut peningkatan kompetensi tenaga dalam negeri untuk dapat memanfaatkannya. Apalagi, tinggal menghitung bulan era MEA akan segera dimulai.

“Ini bukan suatu hal yang menyenangkan, karena yang kita harapkan Indonesia tidak hanya merupakan pasar tempat berniaga negara lain, tetapi sebagai partisipan aktif,” ujar Wakil Ketua III Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi Nasional Sarwono Hardjomuljadi di Jakarta, Rabu (25/3/2015).

Berdasarkan data pusat pembinaan sumber daya investasi Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat serta LPJKN tahun 2014, terlihat bahwa dari 6,9 juta tenaga kerja konstruksi Indonesia, kurang dari 10% berkualifikasi ahli dan 30% terampil. Hanya 380.000 yang bersertifikat.

Sarwono mengatakan LPJK akan mendukung setiap upaya oleh siapapun untuk meningkatkan kompetensi tenaga ahli Indonesia. Sambil mendorong akselerasi sertifikasi nasional, pihaknya juga terus mempromosikan ahli bersertifikasi nasional untuk juga memperoleh sertifikasi standar Asean (ACPE). Untuk saat ini, insinyur Indonesia pemegang ACPE baru 296 orang, dengan rentang usia umumnya di atas 50 tahun.

Proses sertifikasi selama ini berjalan lambat karena kesadaran pelaku usaha konstruksi terhadap pentingnya sertifikasi masih minim. Kebutuhan terhadap sertifikasi baru terasa mendesak menjelang dimulainya era MEA.

Sementara itu, Sarwono mengaku keberatan dengan usulan pelaku usaha yang meminta subsidi sertifikasi bagi tenaga ahli sebagai stimulus bagi percepatan sertifikasi. Menurutnya, usulan tersebut tidak tepat karena yang paling menikmati manfaat sertikasi adalah pelaku usaha sendiri.

“Yang tidak bersertifikat nanti ya tidak bisa bekerja, baik dalam negeri maupun di Asean,” katanya.

Menurutnya, selama ini LPJKN juga telah cukup sering menggelar pelatihan bagi tenaga konstruksi dan konsultan, namun sering kali justru tidak diikuti oleh tenaga dalam negeri.

“Yang datang justru tenaga-tenaga asing, mereka mau berinvestasi untuk dapat ilmunya. Sementara tenaga dalam negeri justru tidak kelihatan,” katanya.

Sarwono menyangkan karena saat ini masih banyak lulusan teknik yang tidak bekerja di bidang keinsinyuran. Saat ini, tuturnya, perbandingan antara badan usaha dan tenaga ahli bersertifikat di Indonesia rata-rata 1:2.

“Idealnya satu badan usaha punya minimal lima tenaga ahli bersertifikat. Sayangnya, sekarang juga tren minat pendidikan anak muda kita berubah, bukan lagi di teknik,” katanya.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper