Bisnis.com, JAKARTA -- Depresiasi rupiah yang diikuti oleh penurunan harga obligasi pemerintah dianggap belum mengancam sektor keuangan, termasuk perbankan, sekalipun aset dalam bentuk rupiah maupun valas tergerus.
Ekonom PT Bank Nasional Indonesia Tbk Ryan Kiryanto mengatakan perbankan bisa saja memperdagangkan surat berharga negara di pasar sekunder sewaktu-waktu untuk mengurangi kerugian akibat perubahan harga di pasar.
"Tidak akan besar walaupun kena efek marked to market karena bisa saja SBN di bank-bank tidak di-hold sampai jatuh tempo atau hold to maturity," katanya saat dihubungi, Rabu (11/3/2015).
Perbankan selama ini menguasai sekitar 30% kepemilikan surat berharga negara (SBN) domestik kendati pangsanya menyusut belakangan ini. Berdasarkan data Ditjen Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan per 6 Maret, kepemilikan perbankan mencapai Rp377,4 triliun atau 29,6% dari total outstanding SBN domestik.
Adapun sejak awal bulan ini, harga surat utang negara (SUN) bertenor 10 tahun terus menurun, ditandai dengan imbal hasil yang terbang 56,2 basis poin ke posisi 7,62% berbarengan dengan perlemahan rupiah.
Khusus mengenai dampak depresiasi rupiah, Ryan mengatakan perbankan sejauh ini relatif belum terpapar rugi kurs (forex loss). Pasalnya, rasio pinjaman terhadap DPK (loan to deposit ratio) dalam bentuk rupiah masih dominan, yakni sekitar 85%.
Bank-bank pun dalam dua tahun terakhir cenderung mengurangi porsi kredit valas sehingga risiko kredit bermasalah alias non performing loan (NPL) tetap terkendali.
"Bank tidak akan kasih utang valas kalau pendapatan debitur dalam rupiah," tuturnya.
Berkaitan dengan currency mismatch pada bank yang menarik utang valas dari bank asing, Ryan berujar bank di Tanah Air telah melakukan lindung nilai sehingga tidak terkena risiko kurs.