Bisnis.com, JAKARTA – PT Pertamina (Persero) sedang mengevaluasi biaya produksi enam kilang minyak untuk melihat tingkat efisiensi produksi bahan bakar minyak.
Pertamina mengakui banyak kilang minyak yang tidak efisien. Ada opsi untuk menutup kilang yang dinilai tidak efisien, tetapi akan berdampak luas. Misalnya, volume impor bahan bakar minyak akan bertambah.
Direktur Pemasaran Pertamina Ahmad Bambang mengatakan banyak kilang perseroan yang tidak efisien, karena menggunakan teknologi kuno dan membutuhkan spesifikasi minyak mentah khusus jenis light sweet—minyak mentah yang mengandung sedikit belerang dan banyak dicari.
Hal itu berdampak pada harga bahan bakar minyak (BBM) yang dihasilkan dari kilang-kilang tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan harga impor.
"Ya tutup dulu daripada rugi lebih banyak, tapi masih dianalisis," katanya, Kamis (26/2/2015).
Kilang Pertamina yang dinilai paling efisien yaitu Kilang Balongan di Indramayu, Jawa Barat. Sebaliknya, Kilang Kasim di Papua menjadi kilang yang paling tidak efisien.
Namun, dia menjelaskan menutup sebuah kilang bukanlah perkara mudah. Secara langsung, penutupan kilang berarti menambah volume impor BBM. Akhirnya ketahanan energi nasional menjadi rentan.
Penutupan kilang juga berdampak sistemik pada produksi lapangan gas dan pasokan BBM di suatu daerah.
Misalnya, Kilang Plaju di Sumatra Selatan yang dibangun pada masa penjajahan Belanda. Penutupan kilang mungkin akan menguntungkan Pertamina. Namun, tutupnya kilang akan berdampak pada operasi lapangan migas Pertamina EP di Jambi.
Selama ini, produksi dialirkan melalui pipa Tempino-Plaju ke kilang. "Tempino di mana wong pakai pipa gak bisa dikirimkan lewat laut," tambahnya.
Selain itu, tambahnya, penutupan kilang akan berdampak pada pasokan BBM di Jambi dan Sumatra Selatan. Selama ini kebutuhan dua provinsi tersebut hanya dipasok dari Kilang Plaju.
"Dampaknya panjang, BBM untuk masyarakat Palembang dari mana, semua dari Plaju karena enggak ada laut," jelasnya.
Dampak sistemik juga terjadi pada Kilang Kasim yang diklaim paling tidak efisien. Namun, penutupan tidak mungkin dilakukan karena akan memicu Rakyat Papua menuntut kemerdekaan. "Kemungkinan yang paling enggak efisien Kilang Kasim, tapi Papua nanti minta merdeka.”
Pertamina sedang menganalisis satu per satu kilang-kilang yang ada secara komprehensif dari hulu sampai ke hilir sebelum memutuskan penutupan kilang.
Dia menyayangkan persoalan inefisiensi dibiarkan sejak lama. Pada era Orde Baru, banyak pemerintah telah mengeluarkan puluhan izin pembangunan kilang. Namun, hingga kini kilang tidak terbangun, karena margin keuntungan yang kecil.
Saat ini, Pertamina sedang menggagas peningkatan spesifikasi kilang yang telah ada (existing) melalui program Refinery Development Masterplan Program (RDMP) yang akan menaikkan kapasitas kilang dari 820.000 barel per hari menjadi 1,68 juta barel per hari. Namun, penyelesaian proyek RDMP membutuhkan waktu yang lama.
Inefisiensi kilang menyebabkan masyarakat tidak bisa menikmati BBM murah di tengah anjloknya harga minyak dunia.