Bisnis.com, JAKARTA - Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (Aprobi) mengusulkan harga pembelian bahan bakar nabati (BBN) baru sebesar Rp9.200 per liter setara premium (lps) kepada pemerintah.
"Produsen fatty acid methyl ester (Fame) atau bahan bakar nabati berdarah-darah. Jika ikuti harga solar MOPS (mean of platts Singapore)sekarang, produsen rugi sekitar US$300 per ton," ujar MP Tumanggor, Ketua Umum Aprobi.
Dia mengungkapkan usulan harga pembelian Pertamina itu, menyusul turunnya harga solar yang kini sekitar US$50 per barel dari sebelumnya US$100 per barel.
Dia menjelaskan kontrak harga jual BBN yang diteken Aprobi dengan Pertamina berdasarkan MOPS.
Padahal, sambungnya, harga formula konversi BBN (campuran solar plus minyak sawit) jauh lebih besar.
Tumanggor mengungkapkan dengan acuan harga solar MOPS US$500 per barel dan harga patokan ekspor (HPE) crude palm oil (CPO) pada Januari 2015 sebesar US$625 per ton plus US$188 per ton biaya konversi belum termasuk ongkos angkut, produsen rugi US$313 per ton.
Menurutnya, jika hitungan itu ditetapkan, maka biaya yang dikeluarkan produsen untuk menghasilkan BBN per ton adalah US$813 dikurangi US$500. Artinya, produsen BBN rugi US$313 per ton.
"Kami mengharapkan pemerintah tidak lagi menetapkan harga beli BBN berdasarkan MOPS," tegasnya.
Saat ini, sambungnya, harga beli BBN oleh Pertamina Rp6.000 per liter setara premium (lps). "Kami mengusulkan ditetapkan harga baru Rp9.200 per lps."
Tumanggor menjelaskan 11 perusahaan anggota Aprobi mempunyai kapasitas produksi 5,2 juta ton per tahun. Ada 2-3 perusahaan lagi yang sedang membangun pabrik dan kapasitas bertambah menjadi 7 juta ton.
Oleh karena itu, ujarnya, Aprobi mengusulkan kepada pemerintah dan segera berkirim surat kepada Pertamina terkait kerugian produsen BBN.
Pertama, Aprobi mendesak mandatory penggunaan BBN 10% benar-benar konsekuen dijalankan.
"Saat ini pemakaian BBN kurang dari separuh dari target 3,5 juta liter, atau hanya sekitar 1,8 juta liter."
Kedua, Aprobi mengusulkan pemberian subsidi Rp3.000 per liter hingga Rp5.000 per liter kepada petani sawit dan produsen BBN.
"Subsidi itu hanya sekitar Rp8 trilun per tahun, sedangkan pendapatan dari bea keluar sawit dan turunannya mencapai Rp20 triliun."
Ketiga, Aprobi mengharapkan mandatory pemakaian BBN bisa mencapai 20%.
"Jika itu diterapkan, serapan untuk sawit bisa mencapai 5 juta ton. Itu akan signifikan mendongkrak harga sawit dunia."