Bisnis.com, JAKARTA— Pengusaha di sektor hulu perantara besi dan baja sulit memenuhi kebutuhan slab alias baja kasar dari dalam negeri, kendala bukan dari volume pasokan melainkan harga tak kompetitif terhadap impor.
Dirjen Basis Industri Manufaktur Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Harjanto mengatakan dua perusahaan yang dimaksud adalah PT Gunung Raja Paksi dan PT Gunawan Dianjaya Steel Tbk. Dua perseroan ini mengeluhkan harga slab impor lebih murah ketimbang beli dari PT Krakatau Posco.
"Mereka ingin ada sinergi antara Krakatau Posco dengan perusahaan baja lain yang turut produksi produk turunan di hulu, jangan dengan Krakatau Steel saja," tuturnya, Rabu (21/1/2015).
Selisih harga antara slab buatan Krakatau Posco dan impor tidak disebutkan secara rinci. Hanya dikemukakan selayaknya harga produk lokal tak lebih tinggi dari impor karena struktur ongkos distribusinya lebih murah.
Permasalahan yang dikemukakan Gunung Raja Paksi (GRP) dan Gunawan Dianjaya Steel (GDS) disebutkan bukan hal baru. Tahun lalu telah dibicarakan perihal ini dengan Krakatau Posco tetapi belum ada perubahan terkait harga jual itu.
Harjanto menyebutkan dua perseroan tersebut selama ini membeli slab dari Brasil. Padahal jika impor bisa disubtitusi lokal bis memperdalam struktur industri melalui penghiliran, sehingga memberiilai tambah lebih besar di dalam negeri.
"Kami ingin manfaatkan penggunaan produksi dalam negeri untuk menghemat devisa. Kami harap ada nilai tambah lebih besar jika pengolahan dan suplai bahan baku bisa disuplai dari dalam negeri," tuturnya.
Kebutuhan slab di dalam negeri diperkirakan mencapai 2,6 juta ton per tahun, harga internasional di kisaran US$400 per ton. Pasokan slab ini digunakan sebagai bahan baku dalam memproduksi plat baja.
Masalah ini membutuhkan kesadaran masing-masing pelaku usaha untuk bersaing secara wajar. Kemenperin meminta Krakatau Posco lebih berorientasi ke pasar domestik secara keseluruhan, bukan hanya memprioritaskan kemitraan dengan Krakatau Steel saja.
"Saya pikir arah bisnis komoditas harus orientasi untuk kepentingan industri derivatifnya di dalam negeri, untuk ini tadi ada usulan diberlakukan bea keluar slab," kata Harjanto.
Presiden Direktur PT Gunung Raja Paksi Djamaluddin Tanoto mengakui pembelian slab dari luar negeri sebetulnya tak mendorong efektifitas program penghiliran industri. Tapi ini mesti ditempuh karena produk lokal justru lebih mahal ketimbang impor.
"Kami mengimpor slab, ini jelas menghabiskan dolar. Kami mau membeli dari dalam negeri, maka kami minta pemerintah membantu agar bisnis bisa berjalan," katanya.
Kebutuhan slab untuk Gunung Raja Paksi sekitar 1,5 juta ton per tahun. Permintaan dari Gunawan Dianjaya Steel disebutkan lebih kecil sekitar 600.000 ton. Kebutuhan lain datang dari Krakatau Steel (KS) sejumlah 1 juta ton.
Krakatau Posco sendiri memiliki kapasitas produksi 3 juta ton setiap tahun. Dengan kebutuhan domestik 2,6 juta ton per tahun berarti sekitar 400.000 - 500.000 ton lainnya dijual ke pasar global.
Pabrik Krakatau Posco tahap pertama tersebut bernilai US$3 miliar. Ke depan akan direalisasikan pembangunan pabrik tahap kedua berkapasitas 3 juta ton per tahun dengan nilai investasi yang sama seperti proyek tahap awal.
Fasilitas produksi Krakatau Posco tidak hanya memproduksi slab melainkan pula plat baja dan baja canai panas (hot rolled coils/HRC).
Direktur PT Gunawan Dianjaya Steel Tbk. Gunato Gunawan mengatakan biaya logistik untuk transportasi di dalam negeri US$7 - US$8, sedangkan impor dari Brasil mencapai US$55. Ongkos pengiriman dari Negeri Samba yang lebih mahal menghasilkan harga jual tetap lebih murah.
"Harga slab dari Brasil ke Jakarta lebih murah. Produk dari dalam negeri seharusnya bisa lebih murah karena biaya transportasi lebih efisien," ucap Gunawan.