Bisnis.com, JAKARTA – Pemerintah tetap bersikukuh performa transaksi berjalan 2015 lebih baik dari tahun sebelumnya kendati Bank Indonesia telah mengeluarkan estimasi defisit tetap akan berkutat di 3% terhadap produk domestik bruto alias sama seperti kondisi 2014.
Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro meyakini peningkatan hanya terjadi pada volume impor, sedangkan nilainya tidak akan melonjak signifikan karena harga barang sedang melemah mengikuti komoditas.
“Harga baja turun, harga besi juga turun. Ya pokoknya (defisit transaksi berjalan) lebih baik dari 2014,” kata Bambang, Jumat (16/1/2015).
Indonesia pertama kali menderita defisit transaksi berjalan akhir 2011 dan mencapai puncak pada kuartal II/2013 dengan defisit US$10,1 miliar atau 4,5% terhadap PDB. Fundamental yang rentan itu membuat investor kian menarik dananya keluar di tengah penilaian ulang risiko di pasar keuangan menyusul rencana pengurangan stimulus moneter (tapering off) the Federal Reserve.
Rupiah terdepresiasi hingga melampaui 10% sepanjang Juni-Agustus 2013. Gejolak pun terjadi di pasar saham dan pasar utang. Indonesia terpental ke dalam keranjang ‘the Fragile Five’ bersama Afrika Selatan, Brasil, India, dan Turki.
Beberapa kalangan memperkirakan taper tantrum jilid II berpotensi terjadi saat arah normalisasi kebijakan moneter Amerika Serikat menunjukkan kepastian mengingat Indonesia masih mengalami ketidakseimbangan eksternal.
Momentum itu akan datang ketika the Fed mengumumkan kepastian mengenai kenaikan suku bunga dari tingkat ultrarendah saat ini 0%-0,25% yang diperkirakan berbagai kalangan terjadi tahun ini.
Ekonom Capital Economics Gareth Leather dalam laporan tertulisnya, Kamis (15/1/2015), mengemukakan defisit transaksi berjalan Indonesia yang lebar berarti rupiah masih akan rentan terhadap pengulangan ‘taper tantrum’ 2013.
“Risiko rupiah ini dapat mengundang bank sentral menaikkan suku bunga secara agresif untuk mempertahankan mata uang itu,” katanya.
Namun, Menkeu meyakini pasar sudah memperhitungkan normalisasi kebijakan moneter AS sebagai faktor perlemahan rupiah belakangan ini.
“Pokoknya rupiah mengarah ke Rp12.500 (per dolar AS),” ujar Bambang.