Bisnis.com, JAKARTA – Anggota pengkaji Notice of Data Availability (NODA) Enviromental Protection Agency (EPA) mengusulkan penetapan faktor emisi yang lebih rasional untuk bahan bakar pengganti fosil yang berasal dari minyak kelapa sawit.
Peneliti Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan Supiandi Sabihan mengatakan penetapan faktor emisi oleh EPA-US sebesar 95 t Co2/ha/tahun (ton karbon ha per tahun) terlalu tinggi karena penelitiannya menunjukkan angka 44 t Co2/ha/tahun saja.
Dia mengatakan sampai sejauh ini tiga peneliti yang ditunjuk EPA setuju dengan penilaian Badan Perlindungan Lingkungan Amerika Serikat tentang faktor emisi namun perlu ada evaluasi terhadap angka tersebut.
“Sedangkan 2 peneliti menilai masih ada yang kurang dan over estimate,” katanya, Rabu (14/1/2014).
Supiandi merupakan salah satu peneliti yang mengusulkan bahwa angka tersebut over estimate karena menilai penetapan emisi yang dilakukan EPA-US kurang memperhatikan beberapa faktor.
Faktor yang dimaksud antara lain variasi jenis gambut, estimasi kecepatan subsiden, dan informasi penggunaan rasio oksidasi/subsiden <92.
Sebelumnya, EPA mengadakan study karena pihaknya menginginkan penurunan emisi sedikitnya 20% dari penggunaan biodiesel dibandingkan dengan penggunaan diesel.
EPA melansir biodiesel hanya menurunkan 17% emisi karena adanya faktor emisi dari gambut sebesar 95 t C02/ha/tahun.
“Sarannya, Angka EPA sebesar 95 itu terlalu tinggi, berdasarkan penelitian angka yang paling tinggi sekitar 44 saja,” katanya.
Terkait dengan PP No.71/2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut, Supiandi mengatakan harus ada aturan lebih lanjut dalam fungsi budidaya dan lindung.
Dia mengusulkan adanya perbaikan dalam pasal 9 ayat 4a yang menyatakan Menteri wajib menetapkan kawasan lindung pada kesatuan hidrologis yang mempunyai ketebalan gambut tiga meter atau lebih.
Supiandi mengatakan dalam kajiannya banyak lahan gambut yang memiliki ketebalan gambut diatas 3 meter namun memberikan hasil yang baik, terutama bila diusahakan untuk kebun rakyat maupun perkebunan besar.
Selain itu, dia juga mengkritik pasal 23 ayat 3a yang menyebutkan ekosistem gambut dengan fungsi budidaya dinyatakan rusak apabila muka air di lahan gambut lebih dari 0,4 m di bawah permukaan gambut.
Menurut beberapa pakar, dia mengatakan batas muka air atau ground water level (GWL) tidak ada hubungannya dengan upaya penurunan emisi yang terlalu nyata dari rentang 0,4-0,7 m.
“Apabila diberlakukan, akan berakibat lahan gambut yang sedang diusahakan kebanyakan masuk kedalam kriteria rusak,” katanya.