Bisnis.com, JAKARTA - Jatuhnya pesawat Airbus A320 AirAsia nomor penerbangan QZ8501 disebut-sebut mirip dengan kecelakaan serupa yang menimpa pesawat maskapai Prancis Air France bernomor penerbangan 447 yang jatuh tenggelam di Samudera Atlantik pada 2009.
Media Australia, news.com.au, berspekulasi bahwa kesamaan keduanya bisa membantu mengungkapkan apa yang sebenarnya telah terjadi pada QZ8501.
Air France 447 jatuh dari langit dengan cepat tanpa seruan darurat bahaya mayday dari kokpit pesawat, lalu menghilang ditelan Samudera Atlantik.
Perlu waktu dua tahun untuk menemukan kotak hitam Air France 447, namun penerbangan rute Rio de Janeiro - Paris yang jatuh pada 1 Juni 2009 tersebut dapat menjadi referensi dalam mengungkapkan apa yang terjadi pada AirAsia QZ8501.
Kedua penerbangan menewaskan semua orang yang menumpanginya (pada AirAsia QZ8501 masih dalam asumsi diyakini) dan keduanya terbang menembus badai sebelum dinyatakan hilang.
Para pilot kedua penerbangan ini juga sepertinya sama-sama telah menaikkan ketinggian terbang pesawat sebagai jalan keluar dari masalah yang tengah mereka hadapi saat itu.
Pada Airbus A330 Air France 447, beberapa faktor muncul, antara lain karena ketiga pilotnya dibingungkan oleh data kecepatan pesawat yang rusak setelah sensor pesawat ditutup es akibat pesawat lama berada di awan tebal.
Kemudian, sekitar 25 menit terombang ambing oleh turbulens, sistem autopilot dan autothrust (daya swadorong pesawat) rusak, lalu pilot menaikkan pesawat dengan tajam, kendati kopilot meminta pesawat diturunkan.
Sang kapten yang jauh dari kokpit, kembali sekitar 90 detik setelah peringatan stall yang pertama terdengar. Stall adalah kondisi di mana gaya angkat pesawat terbang turun tiba-tiba.
Empat menit 23 detik kemudian alarm pertama menunjukkan panik dan kebingungan mengenai bagaimana pesawat seharusnya dikendalikan, lalu pesawat menghujam ke samudera, dengan tubuh pesawat terlebih dahulu menyentuh lantai permukaan laut dengan hampir 11.000 atau 3.350 meter per menit.
Reruntuhan 447 ditemukan pada kedalaman 12.800 kaki atau 3.900 meter di dasar laut, dan kotak hitamnya pun masih utuh.
Sementara itu di atas Laut Jawa, pilot AirAsia Airbus A320 berkata kepada menara pengatur lalu lintas udara (ATC) bahwa dia tengah mendekati awan yang mengancam penerbangan, namun permintaannya naik ke ketinggian lebih tinggi diabaikan ATC. Beberapa menit kemudian pesawat kehilangan kontak.
Kini tim pencari tengah memburu kotak hitam yang berisi informasi yang sama sangat pentingnya dengan informasi yang menjadi petunjuk terungkapnya penyebab jatuhnya Air France 447.
Para penyelidik badan BEA Prancis yang juga pernah menyelidiki jatuhnya Air France 447 pada 2009, telah berada di Indonesia.
Beberapa foto Sonar kemudian berhasil menjejak bagian-bagian besar QZ8501 berada di kedalaman 30 meter di dasar laut atau jauh lebih dangkal ketimbang tempat Air France 447 terbaring di dasar samudera.
Namun pencarian kotak hitam dan badan pesawat QZ8501 menghadapi kendala cuaca buruk berupa gelombang laut yang kuat.
Otomatisasi
Jatuhnya Air France 447, setidaknya mengungkap bahaya dari otomatisasi pesawat.
Selama masa itu, matinya sistem autopilot dan orang-orang panik yang menerbangkan Air France 447 turut memperburuk keadaan. Pilot bahkan mencoba melakukan manuver berbeda-beda secara simultan dari kedua rangkaian pengendali.
Banyak yang mengira pilot kerap tak cukup terlatih ketika instrumen-instrumen pesawat tidak berjalan sebagaimana mestinya.
"Kita melihat semakin banyak sitem otomatisasi canggih di dalam kokpit yang membuat kita dilayani dengan baik, dan pada umumnya ini menciptakan lingkungan yang lebih aman bagi penumpang pesawat. Namun ada masa ketika otomatisasi itu dapat berubah membingungkan, atau bisa jadi ada ketidaknyambungan antara pilot dengan otomatisasi dalam pesawat,” kata Deborah Hersman, mantan kepala Badan Keselamatan Transportasi Nasional AS (NTSB) seperti dikutip news.com.au.
David Greenberg, mantan eksekutif maskapai Delta Air Lines yang dikontrak maskapai Korean Air untuk mengawasi pelatihan dan keselamatan pilot, mengatakan bahwa pembuat pesawat, maskapai dan otoritas penerbangan FAA mengakui bahwa otomatisasi memang membuat lebih aman penerbangan, namun belakangan mulai mengkhawatirkan masa ketika otomatisasi tidak lagi mendukung penerbangan.
"Fokus mulai bergeser kepada kemampuan dalam menggunakan otomatisasi sebagai pembantu mengurangi beban kerja pada kondisi yang benar, namun 'kemampuan' itu juga berarti menyisihkan cara lama menerbangkan pesawat," kata Greenberg.
"Di Asia, menurut saya, adalah normal sekali mengandalkan secara berlebihan kepada otomatisasi, sebagian karena produsen pesawat menekankan bahwa pesawat harus mudah dipelajari, mudah diajarkan dan sangat aman karena otomatisasi menyempitkan kesenjangan antara kerampilan dan keterampilan yang dibutuhkan," kata dia seperti dikutip news.com.au.
Inikah Detik-detik Yang Terjadi Sebelum Pesawat AirAsia QZ8501 Jatuh Ke Laut?
Data radar yang diselidiki para penyelidik memperlihatkan Airbus A320-200 dari Indonesia AirAsia nomor penerbangan QZ8501 mendaki luar biasa tajam di luar batas kemampuan sebuah Airbus A320, sebelum akhirnya jatuh, kata seorang sumber yang mengetahui penyelidikan kecelakaan QZ8501 kepada kantor berita Reuters.
Data dikirimkan sebelum pesawat itu hilang dari layar menara pengawas lalu lintas udara (ATC) di Jakarta Minggu pagi lalu.
"Sejauh ini, angka ketinggian terbang yang terekam radar adalah luar biasa tinggi. Tingkat pendakian ini amat tinggi, kelewat tinggi malah, di atas batas kemampuan pesawat itu," kata dia.
Sumber itu menambahkan, data yang menjadi dasar asumsinya itu tidak lengkap. Sementara itu, kolega dan sahabat pilot QZ8501 menyebut sang pilot memang berpengalaman dan profesional.
Penemuan pendahuluan mempertajam fokus pada faktor cuaca buruk dan reaksi awak terhadap badai dan awak di area pesawat itu terbang yang berperan besar pada jatuhnya pesawat ke laut di Selat Karimata yang menewaskan 162 orang yang menumpangi pesawat itu.
Penemuan perekaman suara kokpit (CVR) dan perekam data penerbangan (FDR) yang biasa disebut "kotak hitam" dari pesawat berusia enam tahun itu vital untuk menajamkan data radar yang sudah ada.
"Dengan CVR dan FDR, kita bisa mengetahui apa yang telah terjadi di kokpit dan apa yang terjadi di pesawat itu. Kita bisa memastikan bahwa informasi radar itu akurat," tambah sumber tersebut seperti dikutip Reuters.
Terlalu pelan?
Pada pukul 6.12 Minggu pagi, 36 menit setelah tinggal landas dari Bandara Juanda, Surabaya, dalam penerbangan menuju Singapura, pilot meminta izin untuk naik ke ketinggian 38.000 kaki dari 32.000 kaki, lalu menyamping ke kiri untuk menghindari cuaca buruk.
Dua menit kemudian, ATC Jakarta menjawab permintaan itu dengan meminta QZ8501 bergeser ke kiri sejauh tujuh mil dan naik ke ketinggian 34.000 kaki. Tetapi tidak ada jawaban dari kokpit dan saat itu pesawat masih bisa terdeteksi radar ATC sebelum hilang pukul 6.18 pagi.
Sebuah foto bocoran dari pihak yang berwenang mengatur ruang udara Indonesia yang menyebar di Internet memperlihatkan QZ8501 berada pada ketinggian 36.300 kaki dan mendaki dengan kecepatan 353 knot.
Sang sumber menolak mengonfirmasi keakuratan foto bocoran itu. Tetapi dua pilot veteran berkata kepada Reuters bahwa jika foto itu akurat bahwa itu membuktikan QZ8501 mungkin memang naik mendadak, lalu kehilangan kecepatan.
Hal ini dapat mengakibatkan pesawat tersebut mengalami stall (kondisi dimana gaya angkat pesawat terbang turun tiba-tiba) di tengah langit sebelum terjun ke laut, kata kedua pilot veteran itu.
Salah seorang dari mereka menjelaskan bahwa sebuah Airbus A320 akan meluncur pada kecepatan sekitar 0,78 Mach selagi berada pada ketinggian 32.000 kaki. Ini artinya pesawat itu mestinya memacu dalam kecepatan 516 knot.
"Jika Anda menghadapi turbulens, Anda harus bergerak lebih pelan pada apa yang kita sebut kecepatan penetrasi turbulens untuk melalui turbulens itu. (Tapi) Jika Anda mendaki untuk menghindari turbulens, Anda mesti memperlambat guna mendapatkan tingkat daki yang lebih baik. Itu bisa sekitar 0,76 Mach," kata dia. "Tapi jika Anda mendadak naik dan mulai kehilangan kecepatan, maka Anda akan stall."
Pesawat lain
Sumber yang mengetahui penyelidikan QZ8501 tadi lalu mengatakan ada pesawat lain di area terbang sama dengan QZ8501 yang terbang di ketinggian yang lebih tinggi. Laman pelacak pesawat flightradar24.com menyebutkan pesawat yang satunya ini berada pada ketinggian antara 34.000 dan 39.000 kaki.
"Kami tahu ada cuaca lokal yang sangat buruk dan awan yang besar. Namun pesawat yang satunya lagi itu terbang lebih tinggi dan tidak menghadapi masalah apa pun. Kami ingin menyelidiki hal itu juga," kata sang sumber.
Sumber-sumber pada industri penerbangan berkata kepada Reuters bahwa mungkin ada kesamaan antara insiden QZ8501 dengan jatuhnya pesawat maskapai Prancis Air France Penerbangan AF447 pada 2009.
Penyelidikan terhadap pesawat Airbus A330 Air France itu menyimpulkan bahwa kopilot tak bisa membaca kecepatan pesawat karena ada icing (pembekuan atau pembentukan es) pada bagian vital pesawat.
Reaksi panik sang pilot Air France membuat dia terus saja mencoba mendaki kendati berulang kali muncul peringatan stall, tapi si awak pesawat tidak menyadari situasi ini, akhirnya pesawat pun terjun ke Samudera Atlantik.
Kecelakaan-kecelakaan seperti ini menunjukkan bahwa marjin kesalahan pada ketinggian yang lebih tinggi adalah lebih kecil dibandingkan saat tinggal landas atau pesawat diturunkan, kata para pakar industri penerbangan.
Mereka menambahkan bahwa sistem yang dimiliki A320 biasanya mencegah pilot tak melakukan hal-hal di luar parameter penerbangan aman yang berlaku.
Namun sistem ini bisa dinonaktifkan pada keadaan-keadaan tertentu dengan menyerahkan pengendalikan pesawat kepada pilot untuk mengoperasikan pesawat dengan keterampilan terbang manual.