Bisnis.com, JAKARTA - Menteri Perhubungan Ignasius Jonan menilai pemberlakuan pemotongan biaya mendarat (landing fee) untuk pesawat berukuran besar seperti Boeing 777 atau Airbus 330 dapat mengoptimalisasi ruang udara yang semakin padat.
"Supaya ruang udara lebih optimal, banyak rute yang penerbangannya padat, contoh saja Jakarta-Surabaya," kata Jonan saat berdiskusi singkat dengan wartawan di Kementerian Perhubungan, Jakarta, Jumat (12/12/2014).
Jonan memperkirakan kepadatan ruang udara bisa terurai sebesar 50% untuk bandara-bandara besar, seperti Soekarno-Hatta Cengkareng, Juanda Surabaya, Ngurah Rai Denpasar, Sultan Hasanuddin Makassar dan Biak.
"Pesawat kecil hanya masuk 100-150 penumpang, sementara pesawat besar 300 orang. Jakarta-Surabaya setiap setengah jam 40-40 penerbangan pp, kalau pakai pesawat besar bisa 20-20," katanya.
Menurut dia, jika kepadatan udara tidak diurai, maka menimbulkan investasi tambahan untuk bandara, seperti perpanjangan landasan pacu (runway), perubahan navigasi udara dan lainnya.
"Itu akan memakan waktu, sementara kebutuhan airlines'(maskapai) tidak bisa terlalu ditahan, kebutuhan take off-landing (lepas landas-mendarat) pesawat itu sama mau besar mau kecil," katanya.
Jonan mengatakan pihaknya telah menyampaikan surat edaran terkait pemberlakuan potongan biaya mendarat tersebut kepada Angkasa Pura I dan II selaku operator bandara.
Dia juga menekankan pemberlakuan tersebut sifatnya hanya penawaran, bukan keharusan tergantung kemampuan maskapai dan pembicaraan business to business dengan AP I dan II.
"Saya tidak mengurusi bisnis, tidak ada pemaksaan, pemberlakuan landing fee 50% untuk wide body tetap jalan (meski maskapai keberatan)," katanya.
Direktur Operasional Garuda Herupratomo berpendapat bahwa pesawat berbadan besar lebih efisien untuk rute penerbangan jarak jauh, seperti penerbangan regional dan internasional di atas 7 jam.
Dia menambahkan banyak pertimbangan pergantian dari pesawat kecil (narrow body) menjadi pesawat besar (wide body), di antaranya tingkat keterisian (load factor) serta pemakaian avtur.
"Kita sesuaikan dengan pasar, tidak bisa serta-merta pesawat narrow body diganti pesawat wide body. Di jarak penerbangan pendek, secara ekonomis kurang baik," katanya.
Hal senada juga disampaikan Presiden Direktur AirAsia Sunu Widyatmoko yang mengaku tidak akan menggunakan pesawat berbadan besar karena dinilai merugikan karena tidak sesuai dengan strategi bisnisnya.
"Setiap maskapai memiliki strategi bisnis yang berbeda, kita tidak akan menggunakan pesawat berbadan lebar, kita 'core' bisnisnya jarak pendek kurang dari empat jam, artinya kita tidak akan pernah ganti," katanya.
Menurut dia, penggunaan pesawat besar bukan persoalan punya atau tidak punya pesawat, tetapi strategi bisnis masing-masing maskapai. "Jadi Kementerian Perhubungan harus melihat strategi maskapai itu sendiri," katanya.