Pertemuan tahunan ke-12 Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) 2014 di Kuala Lumpur, pekan lalu, salah satunya menyoroti isu stok karbon di lahan HCS (High Carbon Stock) bagi pembukaan kebun sawit. Berikut beberapa laporan wartawan Bisnis, Rustam Agus. |
Bisnis.com, JAKARTA--Salah satu isu baru yang kini ramai diperbincangkan terkait penyempurnaan konsep pengelolaan industri sawit yang lestari adalah perhatian terhadap stok karbon kawasan hutan.
Belakangan studi tentang stok karbon tinggi atau dikenal dengan pendekatan High Carbon Stock (HCS Approach) sudah mulai dilakukan oleh sejumlah pihak terkait seperti Greenpeace, RSPO, dan lainnya.
HCS secara luas didefinisikan sebagai lahan dengan kadar karbon tinggi seperti lahan gambut, hutan primer, dan hutan hujan dengan curah tinggi-rendah.
Pembukaan lahan HCS untuk perkebunan atau pertanian akan memproduksi gas rumah kaca dengan tingkat jauh lebih tinggi yang dilepaskan ke atmosfer jika dibandingkan dengan kawasan non HCS.
Dengan banyaknya perusahaan kelapa sawit yang berkomitmen untuk mengurangi dampak iklim dan deforestasi maka sangat dibutuhkan kerangka kerja atau acuan yang tepat dan efektif guna mengidentifikasi lahan-lahan HCS.
Itu sebabnya pendekatan HCS disusun sebagai panduan untuk membantu perusahaan dan stakeholders industri sawit lainnya mengimplementasikan komitmen meminimalisasi atau bahkan menghentikan pembukaan kawasan hutan (deforestation).
Sejauh ini sudah dilakukan studi HCS yang secara teknis bertujuan mengukur besarnya stok karbon yang bakal lepas ketika satu kawasan hutan dibuka untuk perkebunan atau pertanian.
Hasil studi pengukuran stok karbon oleh Greenpeace misalnya, secara tegas merekomendasikan deforestasi di lahan-lahan HCS guna menyelamatkan lingkungan.
"Intinya studi bertujuan untuk stop pembukaan hutan di kawasan HCS," tegas Grant Rosoman, Global Forests Solutions Coordinator Greenpeace International.
Sejauh ini, katanya, sudah dibentuk semacam komite pengawas dan forum konsultasi LSM terkait HCS. Studi ini fokus kepada efek rumah kaca sebagai alat untuk menilai rencana pelepasan lahan.
"Jadi studi HCS tak hanya untuk stop deforestasi bagi industri sawit tapi juga kepentingan lain," demikian Grant.
Lain pula dengan upaya yang dilakukan lembaga Pusat Lingkungan Global yang juga menekankan bahwa penilaian efek rumah kaca penting bagi RSPO karena jelas memicu perubahan iklim dan kejadian ekstrem dalam perkembangan industri sawit.
Menurut Direktur Global Environment Center Dr Faizal Parish, pemilik kebun harus memperhatikan stok karbon dan menekan pembukaan lahan bersangkutan.
"Diharapkan pada Juni 2017 RSPO sudah bisa merilis ukuran dan panduan HCS," tuturnya.
Mungkin saja, lanjut Faizal, RSPO tidak menginginkan adanya ambang batas stok karbon di lahan bersangkutan tetapi berapa volume emisi yang bisa ditoleransi bisa dilepas ke atmosfer.
"Yang jelas. semua rumusan dan panduan tersebut mengarah kepada upaya menekan emisi karbon dari kawasan hutan," tuturnya.
BACA JUGA:
Industri Sawit Lestari (I): Maju Bersama Pemanasan Global
Industri Sawit Lestari (III): Menunggu Hasil Studi Komprehensif HCS
Industri Sawit Lestari (IV): Studi HCS Jadi Dasar Teknis Buka Lahan