Bisnis.com, JAKARTA—Besaran kenaikan harga bahan bakar minyak bersubsidi hanya Rp2.000 per liter, berbeda dengan rekomendasi Apindo senilai Rp3.000 per liter. Namun asosiasi pengusaha ini mengaku tak kecewa.
Keputusan pemerintah menaikkan Rp2.000 per liter dinilai tepat karena mengikuti konteks yang ada sekarang. Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) tetap mengapresiasi kenaikan harga BBM bersubsidi. Keputusan ini dinilai sebagai keberanian pemerintah untuk menerapkan kebijakan yang tidak populis.
“Pertimbangan pemerintah karena harga minyak dunia turun jadi biaya produksi turun, kemudian situasi global masih lambat begitupun di dalam negeri sehingga Rp2.000 per liter ini tepat,” ucap Ketua Apdindo Franky Sibarani saat dihubungi Bisnis, Selasa (18/11/2014).
Sejak awal pelaku usaha meminta penghematan anggaran negara dari penaikan harga BBM bersubsidi bisa dialokasikan ke sektor produktif selain disalurkan untuk bantuan sosial. Bidang produktif yang dimaksud adalah pembangunan infrastruktur.
Untuk jangka pendek Apindo menyarankan perbaikan infrastruktur energi listrik dan gas menjadi fokus utama. Sebagai contoh dari hasil penghematan bisa dialirkan ke proyek monorel dan pengadaan stasiun pengisian bahan bakar gas.
Menurut Franky imbas kenaikan harga premium dan solar terhadap biaya logistik industri tak perlu terlalu dipusingkan. Secara umum porsi biaya distribusi barang hanya sekitar2% - 5% dari total ongkos produksi.
Pengaruh terbesar dalam biaya produksi adalah ketergantungan kepada bahan baku impor sekitar 60% - 70%. Depresiasi rupiah terhadap dolar AS memberikan tekanan yang lebih besar. Aspek lain yang lebih besar dari ongkos logistik tetapi masih di bawah impor bahan baku adalah tenaga kerja.
Porsi upah tenaga kerja diperkirakan 5% - 10% dari keseluruhan biaya produksi. Oleh karena itu perlu diperhatikan pengaruh kenaikan harga bensin terhadap daya beli pekerja. “Harapan kami masing-masing perusahaan bisa memberikan kompensasi yang sebanding,” ucap Franky.