Bisnis.com, JAKARTA—Tantangan utama yang mesti ditaklukan produsen mamin adalah standardisasi kualitas dan keamanan pangan.
Sebetulnya ini tidak hanya berlaku di Jepang melainkan di negara maju lain. Pada umumnya, negara tujuan ekspor itu anti terhadap makanan berpengawet.
Konsumen di Jepang pada umumnya tidak mau mamin yang mengandung bahan pengawet. Mereka memiliki sistem penyimpanan dan distribusi mamin yang bagus, sehingga produk bisa lebih tahan lama.
"Pengawet bukannya jelek, tapi perbedaan ini lebih ke masalah cuaca dan lingkungan. Kelembapan di Indonesia juga cukup tinggi, produk mudah rusak," Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi) Adhi S. Lukman saat dihubungi Bisnis, Jumat (14/11/2014).
Oleh karena itu empat perseroan tadi menggunakan bahan baku dengan mutu baik. Adapun beberapa produk makanan yang masuk ke Jepang lebih dulu, contohnya kopi, bumbu-bumbuan, sambal, mi instan, pasta, puding, dan nata de coco.
Para produsen mamin pada dasarnya mampu menjual seluruh produk dengan kualitasyang sama untuk pasar domestik maupun ekspor.
Namun, semakin baik kualitas bahan baku maka harga jualnya relatif lebih mahal, sedangkan mayoritas daya belu konsumen lokal belum bisa menjangkaunya.
Berdasarkan catatan Gappmi ekspor mamin ke Jepang pada tahun lalu hanya US$299 juta. Padahal penjualan produk mamin olahan ke Amerika Serikat saja mencapai US$710 juta, Malaysia US$922 juta, dan Filipina US$385 juta.
Sepanjang tahun ini Gappmi memproyeksikan nilai penjualan mamin ke luar negeri bakal lebih tinggi 10% dari tahun lalu. Realisasi ekspor selama tahun lalu senilai US$5,7 miliar, sedangkan pada 2012 US$5,1 miliar.