Bisnis.com, JAKARTA – Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia tetap menginginkan sistem verifikasi legalitas kayu atau SVLK diterapkan secara penuh terhadap semua produk industri kayu per 1 Januari 2015.
Ketua APHI bidang Hutan Tanaman Industri Nana Suparna mengatakan SVLK merupakan bukti pengelolaan kayu legal yang diproduksi di dalam negeri, sehingga harus didorong untuk meningkatkan daya saing dengan produk luar negeri.
“Selama ini kan kita dituduh memproduksi kayu ileggal, SVLK ini kan positif untuk menghilangkan kesan itu. Program ini harus diteruskan atau kita bisa tidak bersaing dengan illegal logging itu,” katanya saat dihubungi Bisnis.com, Rabu, (12/11).
Sebelumnya, dalam pemberitaan Bisnis (5/11) Kementerian Perdagangan membicarakan pengkajian ulang soal Permendag No.81/2013 tentang ketentuan ekspor produk kehutanan bersama pelaku usaha terkait.
Hasilnya, Kemendag menginginkan pengusaha mebel dibebaskan dari kewajiban mengantongi SVLK dan lebih menitikberatkan pada pemasok kayu untuk memiliki sertifikat itu.
Menurut Nana, seharusnya SVLK juga dijalankan oleh para pelaku usaha hilir untuk semakin melegitimasi pengelolaan kayu secara legal.
Dia mengatakan selama ini kendala pelaku usaha mebel yang mayoritas merupakan industri kecil menengah adalah soal harga sertifikasi yang terlampau tinggi, yaitu Rp30 juta.
“Diskusi dan cari tahu apa kendalanya. Jika memang harga masih jadi masalah, seharusnya pemerintah mencari solusi bukan menghilangkan SVLK penuh,” katanya.
Merujuk pada data Badan Pusat Statistik, jumlah pengusaha furnitur atau mebel kelas besar dan sedang berjumlah 1.476, sedangkan industri kecil berjumlah 30.874.
Sebelumnya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya menyatakan keberatan terhadap rencana penangguhan perizinan itu.
Menurut Siti, Penangguhan SVLK bagi industri mebel dapat menurunkan kredibilitas SVLK pada UE dan pada negara-negara pasar utama yang saat ini sedang dalam proses negosiasi keberterimaan SVLK.
“Karena ketidakkonsistenan waktu pelaksanannya sebagaimana telah disepakati,” tulisnya dalam surat yang dilayangkan untuk Kementerian Perdagangan dan ditembus kepada Presiden Joko Widodo, (11/11).
Siti menjelaskan saat ini permintaan jaminan legalitas kayu telah diterima resmi oleh 28 Negara anggota Uni Eropa (UE) yang ditandai dengan ditandatanganinya Perjanjian Kerjasama Sukarela (FLEGT-VPA), September 2013.
Perjanjian FLEGT-VPA tersebut juga telah diratifikasi oleh pihak Indonesia melalui Perpres No.21 Tahun 2014 dan oleh pihak UE pada tanggal 1 Mei 2014. Selain UE, SVLK juga telah diakui resmi oleh Australia.
Perjanjian itu membuat ekspor produk kayu Indonesia bebas uji tuntas atau Due Diligence. Pelaksanaan uji tuntas terhadap produk yang diekspor dapat menurunkan daya saing.
“Negosiasi keberterimaan SVLK juga tengah dilakukan dengan pasar utama produk perkayuan seperti Korea, Jepang, Amerika Serikat, Kanada, dan Tiongkok,” tulisnya.