Bisnis.com, JAKARTA—Ketergantungan impor bahan baku dan barang penolong diramalkan tak menyusut hingga lima tahun mendatang.
Kepala Badan Pengkajian Kebijakan, Iklim, dan Mutu Industri (BPKIMI) Kementerian Perindustrian Arryanto Sagala mengatakan hingga lima tahun mendatang industri pendukung belum berkembang signifikan. Ketergantungan terhadap impor bahan baku dan penolong diperkirakan tetap di level 60% - 70% dari kebutuhan.
"[Dalam dua hingga tiga tahun mendatang] impor barang penunjang masih akan tinggi," ucap Arryanto, Sabtu (18/10/2014).
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat porsi bahan baku dan penolong dalam struktur produk impor industri mencapai 66,7%. Produk lain yang banyak diimpor adalah barang modal 26,7%, terakhir barang konsumsi 6,6%.
Persentase itu berlaku untuk impor produk hasil industri dengan koda HS 10 digit selama 52 bulan.
Sejak Januari 2010 sampai April 2014 tercatat impor yang masuk sejumlah 9.023 barang. Negara importir utama adalah China terutama untuk kelompok bahan baku dan penolong.
Kontribusi Negeri Tirai Bambu terhadap impor produk itu sebesar 17,53%, Jepang 15,64%, Singapura 9,30%, Korea Selatan 7,43%, dan Thailand 6,47%. Untuk barang modal porsi China 27,64%, Jepang 18,84%, AS 9,24%, Singapura 6,70%, dan Thailand 5,64%.
Sementara kelompok barang konsumsi China tetap mendominasi dengan porsi 24,13%, Thailand 18,51%, Jepang 8,20%, Singapura 7,94%, dan Malaysia 7,79%.
Untuk jenis barang yang terbanyak diimpor terutama mesin, tekstil, serta besi baja dan produk turunan.
"Industri pendukung tak berkembang bukan sekedar karena masalah skala keekonomian. Tapi memang tidak ada niat membangun industri pendukung di dalam negeri," ujar Arryanto.