Bisnis.com, JAKARTA--Indonesia dan Malysia dikenal sebagai produsen minyak kelapa sawit terbesar di dunia. Tak heran, jika kedua negara tersebut menjadi primadona aksi korporasi para pengusaha besar untuk membesarkan bisnisnya.
Baru-baru ini, investor dihebohkan dengan aksi Grup Rajawali yang ingin berkonsolidasi dengan PT BW Plantation Tbk. (BWPT) melalui aksi rights issue dengan nilai menakjubkan hingga US$900 juta atau sekitar Rp11,1 triliun.
Aksi backdoor listing ini pun mendapat sorotan, terutama terkait tujuan penggunaan dana hasil penerbitan saham baru itu serta harga penawaran saham baru yang dinilai merugikan investor.
Sebagai informasi saja, BW Plantation resmi mengumumkan rencana penerbitan 27,02 miliar saham baru lewat mekanisme penerbitan umum terbatas (PUT) dengan hak memesan efek terlebih dahulu (HMETD) dengan rasio 1:6 pada harga Rp390 hingga Rp411 per saham.
Sebagian besar atau Rp10,53 triliun dari dana hasil rights issue itu akan dipakai untuk membeli Green Eagle Holdings yang berada di bawah payung Grup Rajawali, milik konglomerat Peter Sondakh.
Selain aksi Grup Rajawali itu, produsen kelapa sawit terbesar di dunia Sime Darby Bhd. juga berencana mengakuisisi 85% saham premium New Britain Palm Oil yang memiliki lahan kelapa sawit di Papua Nugini senilai US$1,75 miliar.
Sime Darby merupakan produsen minyak kelapa sawit terbesar di dunia yang mencatatkan diri di pasar modal telah menawar harga New Britain Palm Oil Ltd. yang tercatat di bursa London dengan harga 7,15 pound per saham.
New Britain memiliki 79.800 hektare lahan kebun sawit tertanam, 7.700 hektare lahan tebu, dan 9.200 hektare lahan cadangan yang dapat dikonversi menjadi lahan kelapa sawit.
Selain itu, perusahaan itu juga memiliki 12 pabrik dan dua pabrik pengolahan kelapa sawit di Papua Nugini dan Liverpool, Inggris.
Menarik untuk membandingkan kedua aksi korporasi tersebut, terutama menilik nilai fantastis yang dikeluarkan kedua perusahaan itu untuk mencari atau mengkonsolidasikan lahan sawit yang telah mereka miliki.
Mari sejenak melihat nilai akuisisi Green Eagle oleh BWPT. Adam Jaya Putra, General Manager Investment Rajawali Corpora, pernah mengatakan harga akuisisi itu berada pada kisaran US$12.000 per hektare.
Sementara itu, Charles C. Spencer, analis Morgan Stanley Asia, menilai aksi akuisisi yang dilakukan Sime Darby cukup mahal yaitu sekitar US$25.980 per hektare dengan menggunakan enterprise value (EV) dari transaksi ini senilai US$2 miliar.
Nilai itu ternyata lebih tinggi 10% dibandingkan aksi merger maupun akuisisi yang baru-baru ini terjadi Malaysia, atau mereprsentasikan 58% premium dari rata-rata EV/hektare dari sejumlah emiten kelapa sawit di Indonesia dengan rata-rata US$16.400 per hektare.
Dengan menggunakan acuan rata-rata EV/hektare perusahaan kelapa sawit di Indonesia versi Morgan Stanley senilai US$16.400 per hektare, maka nilai akuisisi BWPT terhadapi Green Eagle senilai US$12.000 per hektare terbilang tidak mahal.
Namun, jika mengacu pada riset UOB Kay Hian yang dirilis belum lama ini dengan rata-rata EV/planted area perusahaan kelapa sawit yang sejenis dengan BWPT di Indonesia berkisar US$9.600 per hektare, maka nilai akuisisi Green Eagle cukup mahal.
Terlepas dari perdebatan itu, dua aksi korporasi konglomerasi besar tersebut mengindikasikan cadangan lahan kelapa sawit mulai menjadi barang langka dan mahal, mengingat kian menipisnya cadangan lahan di Malaysia dan adanya pembatasan investasi asing di sektor perkebunan di Tanah Air.
“Mau tidak mau sekarang harus ada konsolidasi agar bisa bertahan dan menjadi lebih besar,” ujar Kelik Irwantono, Sekretaris Perusahaan BW Plantation, belum lama ini.