Bisnis.com, JAKARTA – Pemangkasan subsidi bahan bakar minyak untuk penciptaan ruang fiskal tidak serta merta akan membuat otoritas moneter harus mengurangi dosis suku bunga acuan karena masih ada sinyal kenaikan suku bunga bank sentral Amerika Serikat 1,375% pada 2015.
Kepala Ekonom Bank Mandiri Destry Damayanti mengatakan peluang pelonggaran moneter baru telihat pada 2016 karena kebijakan moneter yang ketat masih diprediksi berlangsung tahun depan.
“Tantangan untuk Indonesia pada 2015 lebih berat karena environment yang dihadapi gabungan global maupun domestik,” ujarnya ketika dihubungi Bisnis, Senin (22/9).
Menurutnya, dari sisi domestik, tidak bisa dipungkiri kenaikan harga BBM bersubdisi akan memicu naiknya tingkat inflasi. Setiap 10% kenaikan harga akan memicu inflasi 0,7%. Dalam jangka pendek kondisi tersebut akan menurunkan daya beli masyarakat. Tak tanggung-tanggung, Destry memprediksi akan ada penambahan dosis BI Rate untuk merespon tersebut.
Tingginya inflasi pada gilirannya akan menekan nilai tukar rupiah. Seperti diketahui, sejak pertengahan Juli, kurs tengah rupiah yang dipatok Bank Indonesia mengalami fluktuasi dan cenderung menunjukkan tren pelemahan. Tak tanggung-tanggung, bersamaan pemberian sinyal kenaikan suku bunga the Fed, Kamis (18/9), rupiah berada pada level Rp12.030 per dolar AS.
Dari sisi global, dengan adanya pengetatan moneter negara maju khususnya AS akan berisiko pembalikan modal bagi negara berkembang termasuk Indonesia setelah hampir lima tahun menikmati kencangnya arus dana masuk akibat rendahnya suku bunga AS.
Namun demikian, walau tidak akan langsung terakselerasi, Destry masih optimistis adanya perbaikan pertumbuhan ekonomi hingga 5,6% dengan adanya kebijakan terkait BBM bersubdisi. Pasalnya, langkah tersebut akan memicu perbaikan sektor riil Indonesia lewat infrastruktur.
Destry juga mengatakan masih ada celah turunnya tingkat inflasi akibat kenaikan harga BBM bersubdisi jika dilakukan awal tahun sebelum the Fed mengerek suku bunga acuannya. “Inflasi bulanan akan berkurang, harga juga bisa stabil.”
Deputi Gubernur BI Mirza Adityaswara mengatakan semakin cepat eksekusi penyehatan fiskal lewat kenaikan harga BBM bersubdisi akan memberikan peluang membaiknya perekonomian nasional. Hasil hitungan BI, setiap kenaikan Rp1.000 pada awal 2015.
Dengan hitungan BI inflasi 2015 sebesar 4%±1%, inflasi secara otomatis berkisar 7,3%-7,5% ketika ada kenaikan harga BBM Rp3.000. Besarnya inflasi tersebut dinilai tidak masalah karena akan kembali turun dan stabil dengan adanya perbaikan sektor riil.
Terkait kebijakan moneter, berkaca dari kenaikan BBM tahun lalu yang memicu inflasi hingga 8,3% dibarengi adanya goncangan pasar keuangan, BI sudah menaikan suku bunga acuan 7,5% dan bertahan hingga saat ini. Artinya, dosis BI Rate masih cukup untuk mengatasi tekanan inflasi akibat kenaikan BBM tahun depan.