Bisnis.com, JAKARTA -- Rencana pengaturan utang luar negeri korporasi dengan membatasi rasio utang atau liabilitas valuta asing terhadap aset valas dapat menyulitkan ekspansi dunia usaha.
Ekonom Samuel Aset Mananajemen Lana Soelistianingsih mengatakan perusahaan di Tanah Air selama ini memiliki aset valuta asing yang tidak cukup besar.
Dengan keterbatasan itu, korporasi di dalam negeri akan sulit menarik utang dari luar negeri. Padahal, pada saat yang sama, mencari pinjaman dari perbankan dalam negeri tidak mudah di tengah rezim suku bunga kredit tinggi seiring pengetatan moneter.
"Memang ini [pengaturan rasio liabilitas terhadap aset valas] dampaknya akan mengerem utang luar negeri cukup tajam. Tapi, jadinya perusahaan tidak berkembang karena mau pinjam di perbankan domestik pun susah," katanya, Senin (8/9/2014)
Lana melihat akselerasi pertumbuhan utang luar negeri swasta baru-baru ini dilatarbelakangi oleh pengetatan moneter di dalam negeri untuk mengerem impor, yang berujung pada pengetatan kredit oleh perbankan domestik.
Dalam 1,5 tahun terakhir, utang luar negeri swasta menyalip utang luar negeri publik -- utang luar negeri pemerintah dan BI. Data BI menunjukkkan posisi utang luar negeri sektor swasta pada Juni 2014 mencapai US$153,2 miliar atau 53,8% dari total utang luar negeri.
Peningkatan itu tidak terelakkan ketika bank di dalam negeri mengurangi penyaluran kredit, ditambah dengan biaya yang mahal. Akhirnya, perusahaan swasta memilih menarik pinjaman dari luar.
Lana mengilustrasikan, dengan bunga hanya 4% ditambah biaya hedging 9%-10%, swasta lebih baik menarik kredit modal kerja atau kredit investasi di bank luar negeri, seperti Singapura, ketimbang di dalam negeri dengan biaya 13% hanya untuk bunga.