Bisnis.com, JAKARTA – Walaupun bersifat baseline, sejumlah ekonom menilai rancangan APBN 2015 yang disusun pemerintah sekarang untuk pemerintah baru nantinya merupakan rancangan APBN terburuk selama pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono.
Ekonom Universitas Indonesia Faisal Basri melihat kondisi tersebut dari sisi asumsi makro yang terlihat asal, postur yang diajukan pun tidak mendukung adanya peluang akselerasi pertumbuhan ekonomi. Terlebih, anggaran subsidi BBM Rp291,1 triliun atau 14,4% dari total belanja dalam RAPBN 2015 atau naik Rp44,6 triliun dari pagu APBNP 2014.
“[Rancangan] APBN paling buruk selama 10 tahun pemerintahan SBY. Asumsinya dulu deh, inflasi 4,4 kan omong kosong. Kemudian subdisi bbm naik, korbankan belanja sosial, belanja untuk orang miskin, infrastruktur, yang produktif-produktif. Itu namanya membawa ke neraka,” ujarnya seusai menjadi pembicara suatu diskusi, Senin (18/8/2014).
Menurutnya, SBY telah melakukan ‘kejahatan ekonomi’ dengan menurunkan harga BBM tiga kali sehingga harga BBM saat ini hanyalah harga yang sama pada 2008. Oleh karena itulah, Faisal menegaskan seharusnya menjelang akhir masa jabatannya, SBY beserta jajaran KIB Jilid II harus berani menaikan harga BBM, bukan melimpahkannya pada pemerintahan baru.
Di satu sisi, Faisal mengakui pemerintahan SBY telah berhasil menciptakan stabilisasi ekonomi. Namun, sayangnya, stabilisasi ekonomi tersebut bukan dari keberhasilannya dalam menjalankan roda riil perekonomian, tapi efek penundaan penaikan harga BBM yang masih berlangsung hingga saat ini.
“Jadinya [keberhasilan stabilisasi] artificial, semu,” tegasnya.
Senada dengan Faisal, Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati mengatakan anggaran subsidi BBM yang tinggi menunjukkan tidak adanya upaya penggantian energi yang lebih efisien. Dengan belenggu energi yang mayoritas impor, secara perlahan dan pasti akan membuat neraca perdagangan bahkan neraca transaksi berjalan defisit.
“Desain kebijakan fiskal, dengan postur APBN yang salah dan mandul akan stimulus perekonomian,” ujar dia.
Enny melihat adanya arah kebijakan yang tidak sinkron dalam RAPBN 2015, yakni walau menginginkan adanya akselerasi pertumbuhan ekonomi 5,6%, sinyal pengetatan fiskal maupun moneter masih ada. Kondisi ini tercermin dari asumsi suku bunga SPN 3 bulan rata-rata 6,2%. Suku bunga yang tinggi otomatis akan diikuti dengan suku bunga perbankan yang lebih tinggi, paling tidak lebih dari 6,2%.
Menurutnya, selain subsidi BBM yang membelenggu, patokan defisit anggaran 2,32% juga membuat gerak pemerintah baru terbatas. “Mau gerak dari mana, defisitnya saja sudah tinggi.”
Rupiah Dipatok Melempem
Sejalan dengan asumsi pertumbuhan ekonomi 5,6%, Ekonom PT Samuel Aset Manajemen Lana Soelistianingsih heran pada patokan pemerintah pada asumsi nilai tukar rupiah yang cenderung melempem di Rp11.900 per dolar AS.
“Pertumbuhan ekonomi segitu pasti rupiah juga bisa menguat karena ada dorongan investasi dan sentimen yang lebih baik lah. Kalau lemah berarti kurang effort dari pemerintah,” tutur Lana.
Dengan demikian, asumsi-asumsi makro yang disampaikan pemerintah tidak sejalan satu sama lain. Menurut Lana, jika asumsi nilai tukar rupiah dipatok melemah, akan ada penurunan daya beli masyarakat yang sejalan dengan kebijakan pengetatan moneter yang sedang terjadi saat ini.