Bisnis.com, JAKARTA--Menko Perekonomian Chairul Tanjung menuturkan ada 3 faktor yang memicu perlambatan pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Pertama, kondisi ekonomi global yang masih berkonsolidasi. Dalam rentang waktu 3 bulan Dana Moneter Internasional (IMF) mengoreksi proyeksi pertumbuhan global, dari 3,7% pada April menjadi 3,4% pada Juli 2014.
Kedua, kebijakan pengurangan stimulus moneter Bank Sentral AS, Federal Reserve (the Fed) atau quantitative easing (QE). Penarikan stimulus moneter ini, kata Chairul, cenderung memperlambat pertumbuhan ekonomi negara berkembang yang sebelumnya menikmati kebijakan uang longgar dari AS. Meski begitu, hal ini diimbangi dengan pelonggaran moneter besar-besaran di Jepang dan Eropa.
Seiring dengan berakhirnya QE, harga komoditas ekspor andalan Indonesia seperti batubara dan minyak sawit mentah (CPO) pun turut melemah. Berakhirnya super-cycle commodity turut andil dalam koreksi pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Batubara misalnya, harganya kini berkutat di kisaran US$70--US$80 per ton dari US$100 per ton. CPO pun ada di kisaran 2.200-an ringgit per ton, terus menurun setelah sempat naik sesaat awal tahun ini.
Kinerja ekspor juga tertekan oleh beleid larangan ekspor mineral mentah yang mengurangi penerimaan negara.
"Resiko perekonomian global akan terus berpengaruh pada ekonomi Indonesia. Namun kita mesti bersyukur kita masih bisa tumbuh," katanya, Selasa (5/8/2014). Dia membandingkan kondisi Indonesia dengan China yang babak belur meninggalkan PDB 2 digit akibat menurunnya perekonomian global.
Kemarin, Badan Pusat Statistik mengumumkan pertumbuhan produk domestik bruto Indonesia sepanjang kuartal II/2014 ada di level 5,12%. Angka ini melemah jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu saat pertumbuhan PDB mencapai 5,76%.