Bisnis.com, JAKARTA -- Negosiasi antara PT Polytama Propindo dan PT Pertamina (Persero) terkait pembahasan skema tolling fee agreement guna bisa memenuhi kebutuhan polipropilena dalam negeri tidak mencapai kesepakatan alias deadlock.
Tidak tercapainya kesepakatan tersebut diperkirakan akan mengakibatkan efek berantai, mulai dari meningkatnya impor propilena hingga kenaikan harga produk industri pengguna propilena.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Industri Aromatik, Olefin, dan Plastik (INAplas) Fajar A.D. Budiyono mengatakan kilang penghasil polipropilena milik anak usaha PT Tuban Petro Indoensia itu berhenti kembali sekitar Maret lalu dan hingga kini belum bisa beroperasi.
Berhentinya produksi kilang Polytama disebabkan oleh berhentinya pasokan propilena dari Pertamina.
Propilena merupakan bahan baku untuk membuat polipropilena.
Adapun negosiasi melalui opsi menggunakan skema tolling fee agreement yang ditawarkan oleh Pertamina sudah dirundingkan kedua belah pihak.
Dengan menggunakan skema itu, Pertamina akan membayar biaya pemrosesan kepada Polytama. Sedangkan, produk akhir menjadi hak Pertamina untuk dipasarkan kepada end user.
Sayang, hasil negosiasi itu nihil.
”Beberapa hari lalu yang saya tahu sudah ada keputusan itu, skema tersebut tidak bisa dilakukan karena merugikan Polytama. Akhirnya deadlock,” kata Fajar ketika dihubungi Bisnis, Kamis (17/7).
Direktur Utama PT Tuban Petro Indonesia Riki Ibrahim menegaskan skema yang ditawarkan Pertamina tidak bisa dilakukan lantaran merugikan Polytama.
Saat ini, pihaknya menawarkan untuk menggunakan skema pembayaran cash, artinya ada uang ada barang kepada Pertamina untuk mendapatkan propilena Pertamina.
”Ya sudah, menurut kami, kami beli propilena Pertamina dan langsung bayar, sambil kami mencicil utang kami. Namun, mereka tidak mau. Intinya, skema tolling fee agreement yang ditawarkan Pertamina saat B to B kemarin merugikan Polytama,” jelas dia.
Fajar menambahkan, sejak kilang berhenti, pasokan polipropilena untuk industri hilir terganggu dan impor juga kian meningkat.
Ditambah, harga propilena di pasar global sudah mencapai US$1.850 per metrik ton.
Dia mencontohkan, industri pengguna propilena seperti industri pengemasan harus menunggu 3 bulan untuk bisa mendapatkan bahan baku.
Adapun sebagian besar produk pengemasan digunakan untuk industri makanan dan minuman. Dampak akhirnya, tentu akan ada kenaikan harga pada produk-produk turunan tersebut.
Sebelum kilang milik Poliytama berhenti, Polytama merupakan salah satu dari tiga produsen dalam negeri yang memproduksi polipropilena.
Produksi Polytama sekitar 240.000 ton per tahun, Pertamina 35.000 ton per tahun dan PT Chandra Asri sekitar 480.000 ton per tahun.
Berdasarkan perhitungan Bisnis, dengan berhentinya Polytama, produksi polipropilena dalam negeri sekitar 515.000 ton per tahun.
Padahal, kebutuhan polipropilena dalam negeri tahun lalu sekitar 1,4 juta ton per tahun. Artinya, impor polipropilena akan semakin meningkat.
Kebutuhan semakin meningkat setiap tahunnya karena industri hilir tumbuh dengan baik. Impor akan tumbuh pesat.
Yang lebih membuat menjerit, kata Fajar, selama ini impor polipropilena sekitar 60% berasal dari Asean.
Namun, beberapa tahun belakangan, banyak kapasitas di Asean yang juga shut down sehingga akan lebih sulit lagi mendapatkan impor propilena.
“Kami hanya harap Pertamina mau kalau produknya dibeli langsung. Daripada Pertamina melempar pasokan tersebut ke pasar spot di luar negeri, lebih baik kami yang beli,” tambah dia.
Perlu diketahui, Pertamina menawarkan konsep tolling fee agreement untuk pemecahan masalah.
Vice President Communication Pertamina Ali Mundakir mengatakan Pertamina berencana memasok propilena ke kilang Polytama dengan konsep tolling fee, di mana Pertamina akan membayar biaya pemrosesan kepada Polytama.
Sedangkan, produk akhir menjadi hak Pertamina untuk dipasarkan kepada end user.
Pertamina melihat skema tolling fee agreement merupakan jalan yang terbaik mengingat hingga saat ini Polytama juga belum kunjung melunasi utang-utangnya kepada Pertamina.
Dia berharap, Polytama bisa menyelesaikan kewajiban utangnya terlebih dahulu.
Sebelumnya, kilang milik Polytama memang pernah berhenti pada Agustus 2010.
Kemudian, pada Februari 2013, kilang yang menghasilkan polipropilena tersebut sudah beroperasi kembali.
Namun, kata Fajar, kilang tersebut berhenti kembali Maret lalu dan hingga kini belum bisa beroperasi.
Sebelum berhenti beroperasi, kilang tersebut menghasillkan kapasitas polipropilena sekitar 12.500 ton per bulan dari kapasitasnya yang mencapai 17.500 ton per bulan.
Adapun untuk satu tahun, biasanya kilang menghasilkan produksi sekitar 180.000 ton hingga 240.000 ton per tahun.
Pada industri hilir, polipropilena biasa digunakan untuk berbagai aplikasi, seperti pengemasan, tekstil (contohnya tali, pakaian dalam termal, dan karpet), alat tulis, berbagai tipe wadah terpakaikan ulang serta bagian plastik, perlengkapan labolatorium, komponen otomotif, kertas kresek dan uang kertas polimer.