Bisnis.com, JAKARTA—Kalangan pengusaha produk berbasis kehutanan mengkhawatirkan rencana Australia, tentang pemberlakukan aturan standardisasi yang ketat untuk produk kayu dan turunannya, akan menekan performa ekspor ke Negeri Kanguru tersebut.
Sekjen Asosiasi Mebel dan Kerajinan Indonesia (AMKRI) Abdul Sobur mengatakan rencana Pemerintah Australia itu tentu akan membawa efek samping bagi produsen mebel, karena pada dasarnya penerapan sertifikasi oleh Australia tersebut dicap sebagai trade barrier.
“Selain penetrasi ke pasar Australia akan sulit, juga beban biaya yang ditanggung industri bertambah besar. Artinya, high-cost economic di negara ini akan bertambah dari sektor industri, khususnya industri mebel dan perkayuan,” tuturnya kepada Bisnis, Rabu (9/7/2014).
Sobur mengungkapkan sebenarnya pasar produk furnitur Indonesia di Australia memang belum signifikan. Namun, negara benua tersebut menjadi tujuan ekspor penting untuk saat ini karena kondisi ekonomi di mitra dagang tradisional masih belum stabil.
“Australia saat ini menjadi tujuan penting karena Eropa masih krisis dan Amerika Serikat belum pulih. Jadi, Australia yang perekonomiannya bertumbuh stabil menjadi target penting untuk kami saat ini dan ke depannya.”
Sementara itu, Wakil Ketua Asosiasi Pulp dan Kertas Indonesia (APKI) Rusli Tan mengatakan Indonesia adalah eksportir besar produk kayu, khususnya kertas dan tisu, ke Australia. “Nah, mereka mau mulai kunci pintu ke kita dengan sertifikasi-sertifikasi itu.”
Sebenarnya, kata Rusli, pelaku usaha tidak akan merasakan dampak negatif dari rencana kebijakan Australia itu jika saja pemerintah membatasi ekspor pulp dan kertas, yang notabene telah menjadi salah satu produk ekspor utama RI.
Rusli mengatakan produk ekspor yang seharusnya lebih digenjot adalah industri peralatan rumah tangga, serta manufaktur seperti garmen, alas kaki, dan sebagainya. Dengan sendirinya, ekspor produk-produk tersebut akan menggunakan banyak kertas.
“Keuntungannya, petama [industri pulp dan kertas] tidak perlu membayar import duty, kedua kami tidak perlu membayar biaya transportasi dan logistik, karena kertas dibawa dengan ekspor barang lain. Ketiga, negara bisa menghemat sampai 20% dengan membatasi ekspor kertas secara langsung,” jelasnya.
Tahun ini, Kementerian Perdagangan menargetkan pertumbuhan ekspor produk kayu, khususnya pulp dan kertas, sebesar 5,5%-6,5% atau setara US$5,54 miliar. Dalam 5 tahun terakhir, pertumbuhan ekspor pulp dan kerta mencapai 16,8%.
Sebagaimana diketahui, di bawah kepemimpinan Perdana Menteri Tony Abbott, Australia berencana memberlakukan sertifikat legal untuk produk kayu, yang banyak dianggap sebagai tandingan sistem verifikasi legalitas kayu (SVLK) yang digagas Indonesia.