Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Tim Hukum Indonesia Lemah, Perjanjian Investasi Bilateral Perlu Dievaluasi

Lemahnya negosiator dan tim hukum Indonesia membuat Indonesia sering kalah dalam penyelesaian sengketa internasional.
Ilustrasi/Bisnis.com
Ilustrasi/Bisnis.com

Bisnis.com, JAKARTA- Lemahnya negosiator dan tim hukum Indonesia membuat Indonesia sering kalah dalam penyelesaian sengketa internasional.

Pemerintah diminta bergerak cepat untuk mengkaji ulang seluruh perjanjian investasi bilateral (PIB) yang ada, sebelum perjanjian investasi tersebut menjadi sengketa.

Peneliti dari Lembaga Pengkajian Penelitian dan Pengembangan Ekonomi (LP3E) Kamar Dagang dan Industri Ina Primiana mengatakan kasus PT Newmont Nusa Tenggara yang mengajukan arbitrase internasional terhadap pemerintah Indonesia terkait dengan kebijakan larangan ekspor merupakan warning untuk pemerintah.

Pemerintah harus bergerak cepat melakukan evaluasi terhadap seluruh perjanjian investasi bilateral yang ada.

“Kalau tidak, semakin lama akan banyak juga yang mengajukan arbitrase. Ibaratnya, kalau Indonesia mau nasionalisasi sedikit saja, langsung saja negara atau perusahaan yang terganggu itu mengajukan arbitrase,” kata Ina ketika dihubungi Bisnis, Kamis (3/7/2014).

Dengan dilakukannya evaluasi, pemerintah bisa menganalisis perjanjian mana saja yang harus diamandemen dan tidak diperpanjang lagi.

Dalam situasi saat ini, yang tentunya sudah berbeda dengan puluhan tahun lalu, Indonesia boleh mengevaluasi semua perjanjian. Pemerintah Indonesia harusnya bisa memutuskan dengan cepat untuk perjanjian-perjajian yang merugikan Indonesia.

“Indonesia perlu mengkaji ulang seluruh PIB, kalau perlu dibatalkan dan melihat manfaat bagi Indonesia dalam jangka panjang.”

Menurutnya, bila pembatalan akibat kesewenangan asing, Indonesia juga memiliki hak membela meskipun 99,9% kasus yang dibawa ke arbitrase international Indonesia selalu kalah, seperti yang terjadi pada Churchill mining.

Dia menilai, lemahnya negosiator Indonesia lantaran tidak memiliki data yang lengkap dan tidak berbicara secara komprehensif yang menjadi penyebab Indonesia selalu kalah dalam pengadilan internasional.

Sebelum sampai ke pengadilan arbitrase, langkah tepat yang harus dilakukan adalah segera mengevaluasi seluruh perjanjian investasi yang ada. “Saya tidak katakan semua perjanjiannya berkonflik. Namun, semua harus hati-hati, tidak ada yang tahu ke depan seperti apa.”

Ina mengatakan, ada sekitar 67 PIB yang harus dievaluasi atau direnegosiasi kembali. Menurutnya, sebagian besar ketentuan di PIB lebih menonjolkan kewajiban negara tuan penerima investasi (host state) dibandingkan dengan kewajiban investor. Adapun PIB dibuat sekitar tahun 1970-1990.

Jumlah PIB akan terus bertambah seiring keterlibatan Indonesia dalam perdagangan bebas (FTA) intra-ASEAN dan ASEAN dengan non-ASEAN (Australia-Selandia Baru, China, Jepang, Korea, dan India).

PIB memuat komitmen pemerintah untuk melindungi investor asing dan investasinya dari berbagai gangguan dan kerugian yang bersifat nonkomersial.

Dalam perjanjian, pemerintah dilarang melakukan nasionalisasi. Jadi, bila pemerintah lalai atau sengaja melakukan nasionalisasi serta gagal menjaga keamanan sehingga menyebabkan kerugian investor asing, investor itu dapat menuntut pemerintah membayar kompensasi. Bahkan, sangat terbuka bagi investor asing itu membawa tuntutannya ke arbitrase internasional.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Riendy Astria
Editor :

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper