Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Amankan Kepentingan Nasional, Evaluasi Seluruh Perjanjian Investasi Bilateral

nnKasus lainnya adalah seperti kasus Amco Asia Corporation (1980-an) dan Karaha Bodas Company (1990-an). Kemudian, kasus yang menggunakan PIB Indonesia-Inggris 1976, yakni digunakan Rafat Ali untuk menggugat pemerintah dalam kasus Bank Century.nnnSementara itu, Dirjen Kerjasama Industri Internasional Kementerian Perindustrian Agus Tjahajana mengatakan sebelumnya telah diadakan pertemuan dengan Wakil Presiden Boediono untuk membicarakan hal ini. Menurutnya, setelah terjadinya kasus Churchill, wapres telah memerintahkan Badan Kordinasi Penanaman Modal (BKPM) dan lembaga/kementerian terkait untuk mengevaluasi seluruh perjanjian kerjasama bilateral.nnn“Belum tahu ada berapa dan dari tahun berapa, tetapi ada perintah untuk mengevaluasi itu semua, meneliti semua kerjasama investasi antar dua negara. Lihat lagi, kalau ada yang membahayakan, cabut atau negosiasi ulang,” kata Agus.nnnMenurutnya, sejumlah inevstasi itu memang harus dievaluasi lagi agar kepentingan nasional tetap diutamakan. Pasalnya, saat ini Indonesia berbeda dengan puluhan tahun lalu di mana Indonesia kini membutuhkan segala potensi yang ada di dalam negeri guna memenuhi kebutuhan dalam negeri.nnJAKARTA- Pemerintah didesak untuk segera mengevaluasi sejumlah perjanjian investasi bilateral (PIB) yang dinilai sudah tidak relevan saat ini guna mengamankan kepentingan nasional.nn nnPeneliti dari Lembaga Pengkajian Penelitian dan Pengembangan Ekonomi (LP3E) Kamar Dagang dan Industri Ina Primiana mengatakan ada sekitar 65 PIB yang harus dievaluasi atau direnegosiasi kembali. Menurutnya, sebagian besar ketentuan di PIB lebih menonjolkan kewajiban negara tuan penerima investasi (host state) dibandingkan dengan kewajiban investor. Adapun PIB dibuat sekitar tahun 1970-1990.nn nn“Sehingga sudah tidak cocok dengan perkembangan ekonomi dan peraturan Indoenesia saat ini. Jadi harus mengamankan kepentingan nasional,” kata Ina ketika dihubungi Bisnis, Minggu (29/6).nn nnIna mengatakan, jumlah PIB akan terus bertambah seiring keterlibatan Indonesia dalam perdagangan bebas (FTA) intra-ASEAN dan ASEAN dengan non-ASEAN (Australia-Selandia Baru, China, Jepang, Korea, dan India). PIB memuat komitmen pemerintah untuk melindungi investor asing dan investasinya dari berbagai gangguan dan kerugian yang bersifat nonkomersial.nn nnDalam perjanjian, pemerintah dilarang melakukan nasionalisasi. Jadi, bila pemerintah lalai atau sengaja melakukan nasionalisasi serta gagal menjaga keamanan sehingga menyebabkan kerugian investor asing, investor itu dapat menuntut pemerintah membayar kompensasi. Bahkan, sangat terbuka bagi investor asing itu membawa tuntutannya ke arbitrase internasional.nn nn“Iya itu awalnya seperti itu, itu kan sudah berapa puluh tahun lalu, semua sudah berubah. Ini harus dievaluasi lagi agar tidak merugikan Indonesia. Saya rasa wajar kalau Indonesia melakukan evaluasi,” tambah dia.nn nnEvaluasi harus segera dilakukan sebelum perjanjian habis batas waktunya sehingga akan diperpanjang. Dia berharap, dengan dilakukannya evaluasi, tidak ada lagi kasus seperti Chrurcill. Kasus ini menggunakan PIB Indonesia-Inggris tahun 1976 sebagai rujukan atas gugatan kepada pemerintah Indonesia senilai US$2 miliar.nn nnPemerintah didesak untuk segera mengevaluasi sejumlah perjanjian investasi bilateral (PIB) yang dinilai sudah tidak relevan saat ini guna mengamankan kepentingan nasional..nnn n
PM Australia Tony Abbott dan Presiden SBY. Evaluasi seluruh perjanjian bilateral/Bisnis
PM Australia Tony Abbott dan Presiden SBY. Evaluasi seluruh perjanjian bilateral/Bisnis

Bisnis.com, JAKARTA--Pemerintah didesak untuk segera mengevaluasi sejumlah perjanjian investasi bilateral (PIB) yang dinilai sudah tidak relevan saat ini guna mengamankan kepentingan nasional.

Peneliti dari Lembaga Pengkajian Penelitian dan Pengembangan Ekonomi (LP3E) Kamar Dagang dan Industri Ina Primiana mengatakan ada sekitar 65 PIB yang harus dievaluasi atau direnegosiasi kembali. Menurutnya, sebagian besar ketentuan di PIB lebih menonjolkan kewajiban negara tuan penerima investasi (host state) dibandingkan dengan kewajiban investor. Adapun PIB dibuat sekitar tahun 1970-1990.

“Sehingga sudah tidak cocok dengan perkembangan ekonomi dan peraturan Indoenesia saat ini. Jadi harus mengamankan kepentingan nasional,” kata Ina ketika dihubungi Bisnis, Minggu (29/6).

Ina mengatakan jumlah PIB akan terus bertambah seiring keterlibatan Indonesia dalam perdagangan bebas (FTA) intra-ASEAN dan ASEAN dengan non-ASEAN (Australia-Selandia Baru, China, Jepang, Korea, dan India). PIB memuat komitmen pemerintah untuk melindungi investor asing dan investasinya dari berbagai gangguan dan kerugian yang bersifat nonkomersial.

Dalam perjanjian, pemerintah dilarang melakukan nasionalisasi. Jadi, bila pemerintah lalai atau sengaja melakukan nasionalisasi serta gagal menjaga keamanan sehingga menyebabkan kerugian investor asing, investor itu dapat menuntut pemerintah membayar kompensasi. Bahkan, sangat terbuka bagi investor asing itu membawa tuntutannya ke arbitrase internasional.

“Iya itu awalnya seperti itu, itu kan sudah berapa puluh tahun lalu, semua sudah berubah. Ini harus dievaluasi lagi agar tidak merugikan Indonesia. Saya rasa wajar kalau Indonesia melakukan evaluasi,” tambahnya.


Evaluasi harus segera dilakukan sebelum perjanjian habis batas waktunya sehingga akan diperpanjang. Dia berharap, dengan dilakukannya evaluasi, tidak ada lagi kasus seperti Chrurcill. Kasus ini menggunakan PIB Indonesia-Inggris tahun 1976 sebagai rujukan atas gugatan kepada pemerintah Indonesia senilai US$2 miliar.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Riendy Astria
Editor : Ismail Fahmi
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper