Bisnis.com, JAKARTA – Kenaikan pagu subsidi bahan bakar minyak pada APBNP 2014 senilai Rp246,5 triliun dari pagu sebelumnya senilai Rp210,7 triliun pada APBN 2014 bukan hanya menyandera dan menambah beban fiskal karena fluktuasi nilai tukar rupiah, tapi juga berisiko menambah emisi gas rumah kaca yang mempunyai pengaruh lebih global.
Hasil assessment reports kelima (AR5) Intergovermental Panel on Climate Change (IPCC) mencatatkan kondisi gas rumah kaca berada pada tingkat yang belum pernah terjadi sebelumnya sejak 800.000 tahun yang lalu. Konsentrasi gas karbondioksida (CO2) saat ini lebih tinggi 40% jika dibandingkan dengan era pra-industri. Tak tanggung-tanggung, pemicu peningkatan tersebut berada pada pembakaran bahan bakar fosil.
Asisten Deputi Pengendalian Pencemaran Udara Sumber Bergerak Kementerian Lingkungan Hidup (KLH), Novrizal Tahar menyatakan BBM bersubsidi memilki kandungan sulfur yang tinggi sekitar 2.000-3.000 ppm akan lebih memicu peningkatan konsentrasi CO2.
“23 % emisi gas rumah kaca dari fossil fuel berasal dari sektor transportasi,” ujarnya di Jakarta, Jumat (27/6/2014).
Novrizal menyatakan sekitar 97% masyarakat Indonesia masih menggunakan BBM bersubsidi. Sementara, hanya 2,5%-3,5% yang sudah menggunakan BBM non subsidi. Pada 2013, konsumsi BBM masyarakat sebanyak 1.4 Juta bph. Kebutuhan tersebut dipenuhi lewat produksi dalam negeri 650.000 bph, pengilangan minyak mentah impor 350.000 bph, dan impor 400.000 bph-500.000 bph.
Kondisi tersebut diperparah dengan terus tumbuhnya produksi kendaraan, khususnya sepeda motor yang mayoritas menggunakan BBM bersubsidi. Data CBA Fuel Economy Initiative in Indonesia (2012) & AISI, disebutkan pertumbuhan sepeda motor 7,7 juta unit per tahun. Sementara, pertumbuhan kendaraan di luar sepeda motor sebanyak 1,3 juta unit per tahun.