Bisnis.com, JAKARTA—Lambannya pembahasan revisi Undang-undang Nomor 22 Tahun 2011 tentang Minyak dan Gas Bumi merugikan semua pihak, baik pemerintah, BUMN, SKK Migas, maupun Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS).
Pengamat energi dari Reforminer Institute Kumaidi Notonegoro mengatakan lambannya pembahasan revisi UU Migas tak hanya merugikan KKKS, tetapi juga merugikan semua pihak, termasuk Kementerian Energi Sumber dan Sumber Daya Mineral (ESDM) serta PT Pertamina.
“Percepatan revisi itu baik bagi semuanya, untuk industri, Pertamina sendiri, maupun penyelesaian SKK Migas,” katanya di Jakarta, Senin (2/6/2014).
Soal SKK Migas, jelasnya, perdebatan yang sedang terjadi di parlemen berkutat pada dua wacana; digabungkan seperti dulu atau dijadikan BUMN khusus.
Seandainya opsi kedua yang dipilih, nantinya Indonesia akan mempunyai tiga BUMN yang berperan di industri migas yakni Pertamina, PGN, dan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas (SKK Migas).
Menurutnya, Mengambangnya revisi Undang-undang sebenarnya memicu ketidakpastian. Pasalnya, KKKS berkontrak dengan SKK Migas yang tidak jelas posisi lembaga tersebut apakah lembaga pemerintah ataukah BUMN.
“Kalau presidennya ganti, bisa saja kontraknya tidak diperpanjang, dibatalkan, ataupun dianulir,” ujarnya.
Di tengah polemik revisi UU Migas, pemerintah mengumumkan penawaran Wilayah Kerja Migas Konvensional dan Non Konvensional pada Jumat 22 Mei 2014.
Jumlah WK Konvensional yang ditawarkan sebanyak 13 WK yang terdiri dari 6 WK melallui mekanisme penawaran langsung dan lima WK melalui lelang reguler dan 2 WK melalui penawaran langsung oleh PT Pertamina (Persero).
Adapun jumlah WK Migas Non Konvensional yang ditawarkan yakni delapan WK yang terdiri dari tiga WK reguler dan dua WK melalui mekanisme penawaran langusng oleh Pertamina.
Penawaran WK Baru Migas itu diperkirakan akan memberikan tambahan total sumber daya migas baru baik konvensional maupun non konvensional sekitar 3,5 miliar barel minyak dan 10,7 TCF gas.