Bisnis.com, JAKARTA – Pembangunan proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Batang, Jawa Tengah, terancam molor lagi menyusul belarut-larutnya pembebasan lahan . Padahal, komitmen pembiayaan proyek tersebut berakhir pada Oktober 2014.
Deputi Infrastruktur dan Pengembangan Daerah Kementerian Perekonomian Lucky Eko Wuryanto mengatakan tindak lanjut atas kajian hukum dari Kejaksaan Agung terkait dengan pengambilalihan pembebasan lahan oleh pemerintah belum dilakukan.
“Namun, yang jelas hasil kajian dengan Kejaksaan Agung itu [proyek PLTU Batang] dimungkinkan kalau memang mau dikasih ke PLN untuk menyelesaikan masalah [pembebasan lahan],” ujarnya kepada Bisnis seusai menghadiri Apindo CEO Gathering di Jakarta, Rabu (28/5/2014).
Menurutnya, jika masalah pembebasan lahan seluas 29 hektare diberikan ke PLN, pemerintah harus mempersiapkan waktu minimal satu tahun lagi.
“Kemarin kan kita butuh kajian dari kejaksaan dulu dan ternyata bisa, tapi harus pakai UU No. 2/2012 [tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum] paling cepat setahun lah karena dari awal lagi itungannya,” tuturnya.
Ketika ditanya terkait tenggat komitmen pembiayaan, Lucky mengaku berusaha secepat mungkin menyelesaikan masalah yang ada.
“Pokoknya secepatnya lah, tapi kalau mau dihibahkan [ke PLN] konsekuensinya itu [mundur satu tahun]. Sekarang, tinggal sekarang pinter-pinternya swasta,” tuturnya.
Dengan kondisi tersebut, jika pilihan pemerintah tetap menghibahkan pembebasan lahan ke PLN, akan dimungkinkan target beroperasinya PLTU Batang akan mundur kembali.
Padahal, dalam catatan Bisnis, saat masih di bawah Hatta Rajasa, Kementerian Perekonomian memperkirakan PLTU yang diklaim menjadi pembangkit listrik terbesar di Asia Tenggara ini baru dapat beroperasi pada 2018. Perkiraan tersebut meleset dari rencana semula yang dijadwalkan pada 2017.
Ekonom Institute For Development Of Economics And Finance (Indef), Enny Sri Hartati menyayangkan jika proyek ini molor lagi. “Kalau harus mundur sayang, kebutuhan menambah energi sangat urgen. Kan PLTU bisa segera membantu operasional, mengurangi beban PLN.”
Menurutnya, perlu koordinasi jika terjadi benturan perundang-undangan. Hasil diskusinya dengan pihak Komisi Pemberantasan Korupsi beberapa waktu lalu, setidaknya ada 14 undang-undang yang saling tumpang tindih yang berkaitan dengan pembangunan infrastruktur, apalagi pembebasan lahan.
“Mestinya perlu koordinasi saja gimana menyiasati ketika ada benturan perundangan-undangan untuk kepentingan bersama. Minta apakah dengan MK atau perlu harmonisasi dengan Kumham. Infrastruktur prioritas kan urgen dan untuk kepentingan daerah,” ujarnya.