Bisnis.com, JAKARTA - Akibat enggan memangkas subsidi bahan bakar minyak, pemerintah dinilai justru melawan arus kebijakan pengetatan fiskal.
“Ya sebenarnya pemerintah melakukan pengetatan, iya betul ujung-ujungnya melawan arus,” ujar Sunarsip, Ekonom Ekonom The Indonesia Economic Intelligence saat berkunjung ke kantor Bisnis.com, Senin (19/5/2014)
Sunarsip menilai pos pengetatan yang dilakukan saat ini tidak tepat.
“Harusnya yang diskresi yang diperbanyak tapi malah diketatin. Sementara pos belanja yang tidak produktif justru banyak, malah dilonggarin,” tuturnya.
Menurutnya, jika pemerintah membiarkan subsidi BBM tetap besar, neraca perdagangan pun akan membengkak karena akan banyak impor BBM yang masuk ke Indonesia.
“Otomatis at all cost ya harus dipenuhi. Karena enggak cukup BBM kita, otomatis impor. Neraca rupiah kita akan terkena imbas karena efek sektor fiskal kita yang semakin daya fiskalnya lemah, neraca perdagangan kita impornya semakin tinggi,” ujarnya.
Wakil Ketua Umum Bidang Perdagangan dan Hubungan Internasional Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Chris Kanter mengatakan pemerintahan yang hanya tinggal sekitar lima bulan lagi ini seharusnya mengambil keputusan yang tidak populer yakni dengan memangkas subsidi BBM. Tentunya keputusan ini berdampak pada kenaikan harga BBM.
“Masalahnya kita ada di minggu-minggu di mana popularitas menjadi masalah yang penting. Itu sebabnya, kalau saya sih, harusnya pemerintah yang masih punya umur beberapa bulan ini harus yang melakukan [pemangkasan subsidi BBM]. Enggak bisa enggak,” tegasnya.