Bisnis.com, JAKARTA -- Kementerian Kehutanan dituntut untuk membuka informasi Berita Acara Tata Batas Kawasan Hutan beserta peta yang menjadi dasar untuk penetapan kawasan hutan.
Tuntutan ini merupakan reaksi atas proses penetapan kawasan hutan oleh Kemenhut yang saat ini sedang berjalan dengan cara yang tertutup.
Padahal, proses ini dapat merampas hak-hak masyarakat adat/lokal di dalam dan sekitar kawasan hutan.
Abetnego Tarigan, Direktur Eksekutif WALHI Nasional mengatakan, upaya ini dilakukan karena praktik tidak transparan penetapan kawasan akan mengulang praktik pengelolaan hutan Orde Baru yang menghasilkan konflik dan kekerasan di berbagai tempat.
“Transparansi ini juga penting untuk mengantisipasi adanya kepentingan-kepentingan pelaku usaha besar yang justru mengabaikan kepentingan masyarakat adat,” ujarnya dalam keterangan resmi, Minggu (18/5/2014).
Iwan Nurdin, Sekretaris Jendral Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mengatakan, penetapan kawasan hutan bukanlah cara untuk melegalkan kawasan hutan saja.
“Namun, harus membuka akses bagi penyelesaian konflik agraria di kawasan hutan, melegalkan kawasan-kawasan kelola rakyat,” katanya.
Sandra Moniaga, Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia mengatakan, dokumen Berita Acara merupakan informasi yang terbuka untuk publik berdasar UU No.14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik dan Peraturan Menteri Kehutanan (Permenhut) P7/Menhut-II/2011 tentang Pelayanan Informasi Publik di Lingkungan Kementerian Kehutanan.
“Permenhut tersebut menjelaskan bahwa informasi tentang kawasan hutan itu merupakan informasi yang tersedia setiap saat,” ungkapnya.
Lebih dari itu, lanjut Sandra, informasi ini merupakan dokumen yang terkait langsung dengan kondisi hak asasi mereka yang dijamin oleh UUD 1945 hasil amandemen dan UU No. 39/1999 tentang Hak-hak Asasi Manusia.
Adapun, hal ini berawal dari percepatan penetapan kawasan hutan terkait dengan Nota Kesepakatan Bersama (NKB) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan 12 kementerian/lembaga dan rencana mekanisme klaim dan verifikasi yang digagas Unit Kerja Presiden bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4).
Sementara, Kemenhut menargetkan penetapan kawasan hutan hingga 60% pada 2014. Rencana Aksi sebagai bagian dari NKB KPK menyepakati target penetapan itu sebesar 80% pada 2016. Namun, Rencana Aksi ini mensyaratkan sejumlah langkah persiapan dan perbaikan.
Sayangnya, Kemenhut tidak mengindahkan prasyarat dalam NKB. Prasyarat itu antara lain perbaikan kebijakan, termasuk prasyarat harus terlaksananya mekanisme identifikasi hak dan akses masyarakat dalam proses penataan batas kawasan hutan serta tersedianya mekanisme penyelesaian konflik dalam proses pengukuhan kawasan hutan.
Kedua hal penting ini luput diperbaiki dan disediakan oleh Kemenhut. Penetapan kawasan hutan merupakan tahap terakhir dari pengukuhan kawasan hutan. Ini adalah proses penting untuk mencapai kepastian hukum atas status dan peruntukan hutan.
Disebutkan bahwa proses penetapan kawasan hutan oleh Kemenhut tahun 2014 ini tidak dilakukan dengan transparan dan jauh dari keterlibatan publik secara luas.
Selain itu, proses ini juga melangkahi Putusan MK 45/2011, yang sebelumnya telah menentukan bahwa perbuatan administrasi dalam penentuan kawasan hutan yang dilakukan dengan cara diskretif dan otoriter adalah inkonstitusional.
Proses yang demikian tidak memungkinkan masyarakat untuk mengetahui dengan pasti apakah wilayah hutannya akan ditetapkan atau tidak, apalagi untuk mengetahui apakah keberatan mereka atas penataan batas dicantumkan di dalam berita acara tata batas (BATB) atau tidak.