Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Depresiasi Rupiah: Penerapan Biaya Tuslah Lebih Baik Dari Kenaikan Tarif Pengapalan

Pengusaha pelayaran kapal nasional disarankan menggunakan tuslah atau surcharge daripada menaikkan tarif pengapalan dalam negeri 10%-20%, seiring lonjakan biaya operasional akibat depresiasi rupiah terhadap dolar AS.
Ilustrasi/Antara
Ilustrasi/Antara

Bisnis.com, JAKARTA -- Pengusaha pelayaran kapal nasional disarankan menggunakan tuslah atau surcharge daripada menaikkan tarif pengapalan dalam negeri 10%-20%, seiring lonjakan biaya operasional akibat depresiasi rupiah terhadap dolar AS.

Dosen Maritim Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya Saut Gurning menguraikan biaya tuslah itu lebih khusus untuk sejumlah komponen biaya operasional yang benar-benar menjadi beban perusahaan pelayaran khususnya asuransi atau reasuransi dan biaya spare part kapal.

“Daripada meningkatkan tarif lebih baik diterapkan biaya tuslah. Saya kira biayanya tidak lebih dari 2%-3% dari biaya operasional kapal,” papar Saut kepada Bisnis, baru-baru ini.

Saut mengatakan rencana kenaikan tarif 10% dengan alasan depresiasi rupiah nampaknya tidak begitu kuat. Karena hal ini bukan faktor penting yang berdampak jangka panjang. Alasan depresiasi rupiah dinilai hanya untuk jangka pendek.

Menurutnya, dalam praktik angkutan laut, penerapan biaya tambahan lebih baik dan fair diterapkan dibandingkan menerpakan kenaikan taif untuk seluruh komponen biaya operasi angkutan kapal.

Pihaknya mengakui dalam kurun 4 - 5 bulan, perusahaan pelayaran menghadapi persoalan kenaikan biaya sparepart dan pemeliharaan kapal.

Namun, kenaikan itu dilakukan di luar negeri. Ada pun di dalam negeri, kata dia, sebenarya tidak ada kenaikan biaya. Saut mengatakan masih banyak komponen yang dibayarkan perusahaan pelayaran nasional kebanyakan berbasis rupiah.

“Seperti biaya pelabuhan, biaya stevedoring, pergudangan, angkutan darat, termasuk ABK masih dominan oleh rupiah. Jadi saya kira tidak perlu digeneralisir,” ujarnya. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Muhammad Khamdi
Editor : Saeno
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper