Bisnis.com, JAKARTA – Penerapan SNI Wajib Mainan Anak tinggal menghitung hari pada awal akhir bulan ini.
Namun, jika ditilik dari sisi kesiapan, baik secara infrastruktur pemerintah maupun kesiapan pelaku usaha, tampaknya masih gamang dengan penerapan aturan tersebut.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Mainan Indonesia (APMI) Sudarman Wijaya mengatakan banyak pelaku usaha yang baru mulai mengajukan proses pengujian untuk memperoleh sertifikat SNI.
Bukan karena tidak ingin, Sudarman beralasan bahwa mereka menunggu Petunjuk Teknis (juknis) yang baru dikeluarkan Februari lalu.
Sempitnya masa penerbitan juknis yang tertuang dalam Peraturan Dirjen BIM No. 2/2014, dengan waktu penetapan yang hanya berselang 3 bulan, menyebabkan LSPro mengalami overload pengujian.
Berdasarkan data Kemenperin, hingga pertengahan April sudah ada sekitar 70-an perusahaan yang mengajukan dan dalam proses pengujian untuk memperoleh SPPT SNI.
Namun, hanya terdapat 9 Laboratorium dan 8 LSPro yang melakukan pengujian dan berhak mengeluarkan sertifikasi. Itu pun, tidak dapat dilakukan secara massal sehingga memunculkan antrian panjang.
“Bagaimana bisa terkejar, kalau sekarang kondisinya sudah overload. Keterbatasan LSPro, keterbatasan petugas pengambil contoh [PPC] untuk produk impor, serta balai uji yang terbatas,” tuturnya.
Belum lagi untuk produk impor, proses pengambilan sample harus di lakukan di negara asal, langsung oleh PPC, dan dilakukan per shipment (setiap pengapalan di pelabuhan muat) sehingga menyebabkan terjadinya pembengkakan biaya.
“Biasanya sekali masuk ada beberapa kontainer, kemungkinan biayanya di atas Rp50 juta dengan waktu penerbitan sertifikasi dari proses pengujian maksimal 20 hari.
Pengujian dilakukan berdasarkan banyaknya tipe, bahkan, jenis mainan sama dengan merek berbeda pengujiannya dilakukan secara berbeda,” tutur Yerry Taizar, Sucofindo Head of SBU Suconfido
Eko Wibowo Utomo, Ketua Asosiasi Importir dan Distributor Mainan Indonesia (AIMI) mengkhawatirkan tingginya biaya yang ditanggung untuk proses pengambilan sample dan penerbitan sertifikat SNI tersebut, akan membuat harga mainan impor melonjak sekitar 20% hingga 30%, serta menurunkan impor mainan hingga 50% dalam waktu dekat ini.
Peritel sebagai pihak hilir yang memasarkan langsung produk kepada masyarakat pun memiliki persoalan yang sama.
Wakil Sekjen Aprindo Satria Hamid Ahmadi mengatakan jika pemerintah langsung melakukan pengawasan dengan menarik mainan yang tidak memiliki label SNI pada 30 April, akan memunculkan efek domino.
Tidak hanya terjadi kekosongan mainan -mengingat minimnya mainan yang sudah mendapatkan label SNI- sehingga konsumen kesulitan memenuhi kebutuhan anaknya.
Para peritel dan ratusan ribu pedagang pun harus kehilangan mata pencaharian, begitu pula dengan supplier dan pelaku usaha.
Apalagi sambungnya, saat ini sudah banyak oknum yang melakukan razia di lapangan untuk memanfaatkan kondisi tersebut. Dikhawatirkan, polemik oleh oknum tidak bertanggung jawab akan semakin kental.
“Daripada terjadi polemik dan kerancuan dalam pengawasan di lapangan, lebih baik ada masa transisi dengan jeda waktu 6 bulan, sambil sama-sama persiapkan semua.
Dari peritel pun akan terus meminta dan mengawasi pemasok untuk segera mengurus SNI hingga semuanya siap sekaligus menghabiskan produk yang sudah beredar di pasaran,” tuturnya.