Bisnis.com, BANDUNG - PTPN VIII mengeluhkan rendahnya harga jual teh di pasar dunia.
Pasalnya, selama 15 tahun terakhir perusahaan plat merah ini mengaku tidak pernah mereguk untung dari penjualan komoditas teh.
Humas PTPN VIII Lilik Arifin mengatakan, selama ini penjualan teh hanya menunjang cash flow arus keuangan perusahaan saja, akan tetapi sama sekali tidak mendongkrak pendapatan.
"Kami merugi karena harga tidak signifikan dengan tingginya biaya produksi yang cendrung terus naik. Yang paling menguntungkan bagi kami adalah dengan menanam sawit," katanya, Jumat (11/4/2014).
Teh yang diproduksi PTPN telah diekspor ke sejumlah negara dengan mekanisme lelang. Akan tetapi, pada kenyataannya teh yang berasal tanah pasundan ini tertekan oleh teh asal Vietnam yang lebih rendah harganya.
Padahal, apabila dilihat dari kualitasnya, teh lokal ini lebih unggul. Untuk itu, pihaknya bersama asosiasi teh sedang melakukan berupaya agar komoditas teh bisa terdongkrak.
Berdasarkan data Dewan Teh Indonesia, selama triwulan pertama tahun 2014, kecenderungan penurunan harga teh terus terjadi.
Jika dibandingkan awal tahun 2014, pada akhir Maret harga teh rerata menurun sekitar 17,3 sen atau sekitar 9,5% per kilogram.
Pada awal tahun rerata harga lelang teh di kantor pemasaran bersama (KPB) mencapai sekitar 182,3 sen dan pada lelang akhir Maret 2014, rerata harga teh hanya mencapai sekitar 165,0 sen per kilogram.
Harga lelang Teh CTC mencapai 188,8 sen, sedangkan pada lelang teh di akhir Maret, harga teh CTC mencapai 171,7 sen. Terjadi penurunan harga sekitar 9,1%, atau sekitar 17,1 sen. Di bulan Maret, penurunan harga teh CTC mencapai sekitar 0,8 sen/kg.
Tak sekadar harga, pihaknya pun menghadapi persoalan seputar maraknya okupasi lahan yang mencapai 2.000-3.000 hektar dalam kurun waktu 15 tahun sejak 1999-2014 dari total lahan yang dimiliki PTPN VIII mencapai 114.000 hektar.
"Maraknya penguasahaan lahan ini masalahnya sangat komplek disatu sisi kebutuhan lahan masyarakat sangat tinggi, sementara lahan justru berkurang sehingga memicu okupasi," ujarnya.
Pada umumnya lahan yang 'diserobot' oleh warga itu berupa areal tanaman, lahan yang dihutankan atau akan direklamasi sebab, meskipun harus mendatangkan devisa, PTPN dalam menjalankan usahanya tidak lepas dari kelestariangan lingkungan.
Tidak sedikit warga yang menguasai lahan menganggap lahan yang dihutankan atau direklamasi merupakan lahan terbengkalai sehingga bisa dimanfaatkannya.
Disebutkannya, penguasaan lahan itu terjadi di sejumlah wilayah seperti Kab Bandung, Garut, Subang, dan Bogor. Proses pendekatan hukum menjadi jalan satu-satunya yang bisa dilakukan untuk mempertahan aset negara itu.
Di sisi lain, lamanya proses perpanjangan Hak Guna Usaha (HGU) oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) yang memakan waktu hingga 15 tahun ikut mengancam hilangnya hak penguasaan lahan.
"Padahal kami di beberapa titik melakukan reklamasi seperti areal teh yang berdiri di pinggir Tol Cipularang tepatnya di Cikalong Wetan. Karena disana suhu udaranya terus naik sehingga menurunkan produksi teh sebesar 5%," ucapnya.
Solusinya, di kawasan tersebut, pihaknya akan menjadi kawasan hutan dengan menanam komoditas karet atau buah-buahan tropis. Upaya ini bukan tanpa kendala karena sumber daya manusia (SDM) untuk penyadap sulit didapat.