Bisnis.com, JAKARTA - Bak laut yang terus beriak, industri perkapalan pun kerap didera masalah. Sekitar 6 tahun lalu, badai krisis global menghantam sejumlah perusahaan hingga berdarah-darah, sedangkan kali ini, kasus korupsi kembali menjadi rapor merah.
Masih membekas di ingatan bagaimana dua perusahaan kapal raksasa di Tanah Air terancam bangkrut karena ekspansi besar-besaran yang dilakukan tidak berjalan sesuai harapan. Alhasil, saham-saham di sektor ini ogah untuk dijamah.
Belum sepenuhnya pulih dari luka lama, sektor ini kembali terguncang ketika mantan pimpinan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas (SKK Migas) Rudi Rubiandini terjerat kasus suap dan digelandang ke kursi pesakitan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Transparency International Indonesia pun mengklaim pengelolaan sektor migas, yang merupakan tumpuan harapan pengusaha perkapalan, belum transparan sehingga praktik korupsi terus mewabah. Sejak saat itu, pelaku usaha di sektor ini mulai gelisah.
Seperti kata Marga Tjoa melalui novelnya “Badai Pasti Berlalu”, maka selalu ada solusi untuk sebuah permasalahan, selalu ada harapan baru, selalu ada hari cerah setelahnya.
Aksi “bersih-bersih” terus dilakukan KPK. Tak ingin jatuh ke lubang yang sama, SKK Migas yang kini dipimpin Johanes Widjonarko mulai berbenah, walaupun harus berujung pada tertundanya realisasi tender sejumlah proyek migas.
Eddy K. Logam, Presiden Direktur PT Logindo Samudramakmur Tbk. (LEAD), punya cara pandang berbeda dalam menyikapi permasalahan tersebut. Bagi emiten yang baru saja melantai di Bursa Efek Indonesia pada akhir tahun lalu tersebut, reformasi birokrasi di sektor migas akan membawa angin segar bagi industri perkapalan.
“Seharusnya untuk jangka panjang, pengusutan kasus di sektor migas ini akan membawa dampak positif, walaupun saat ini proses tender menjadi lebih lambat,” katanya kepada Bisnis belum lama ini.
Sebagai pengusaha, dia membutuhkan adanya perubahan. Proses pelaksanaan tender diharapkan dapat menjadi lebih transparan, serta semakin berkurangnya proyek-proyek titipan yang hanya menguntungkan segelintir pihak.
Kendati sektor migas tengah dirundung masalah, Logindo seolah tak ragu untuk berlayar. Kecepatan kapal pun ditambah. Menurut riset PT UOB Kay Hian Securities, strategi bisnis yang diterapkan perusahaan kapal tersebut terbilang agresif.
Betapa tidak, Logindo telah membeli empat kapal AHTS (Anchor Handling Tug Supply) dengan menggelontorkan belanja modal mencapai US$82,5 juta pada tahun lalu. Pada 2014-2015, perseroan tetap tancap gas dengan menyiapkan dana ekspansi hingga US$80 juta untuk membeli 10 kapal baru.
Baru-baru ini, Logindo juga membeli satu unit kapal AHTS DP2 system berkapasitas 8.000 horse power senilai US$17 juta. Dengan pembelian tersebut, jumlah armada kapal OSV (Offshore Supply Vessel) perseroan telah mencapai 60 unit. Hingga 2015, pihaknya menargetkan dapat memiliki 69 armada.
Aditya Sastrawinata, analis UOB Kay Hian Securities, mengatakan penyedia kapal OSV akan diuntungkan dengan pemberlakuan asas cabotage, meningkatnya kebutuhan energi di Indonesia, dan positifnya pertumbuhan biaya sewa kapal.
Saat ini, asas cabotage tengah memasuki masa implementasi pada 2012-2015 yang melarang kapal dengan bendera asing untuk menyediakan jasa transportasi di perairan Indonesia, sehingga Logindo dengan kesiapan jumlah armadanya akan mendapatkan keuntungan dari aturan tersebut.
Selain itu, perkembangan belanja modal untuk sektor perairan lepas pantai di Asia terbilang kuat. Infield Systems memproyeksikan Indonesia akan menggelontorkan belanja modal terbesar mencapai US$18,7 miliar dalam 5 tahun ke depan, atau naik 172% dari realisasi pada 5 tahun lalu US$6.9 miliar.
Adapun, pemerintah memproyeksikan belanja untuk pengembangan sektor perairan lepas pantai di Tanah Air merupakan yang terbesar ketiga setelah India dan Malaysia yakni masing-masing senilai US$18,8 miliar dan US$24 miliar.
Sementara itu, SKK Migas mengumumkan total investasi di bidang migas ditargetkan mencapai US$25,6 miliar pada tahun ini, atau naik 32% dibandingkan capaian pada tahun sebelumnya US$19,3 miliar.
Minimnya pemain di sektor ini menjadi peluang bagi Logindo yang sebagian besar sahamnya, yaitu 35%, dimiliki Alstonia Offshore yang merupakan anak usaha dari Pacific Radiance, penyedia jasa kapal untuk industri perminyakan, yang telah berpengalaman selama lebih dari 30 tahun.
Keuntungan lainnya yang diperoleh dari kondisi tersebut adalah harga sewa kapal OSV yang terus meningkat. Di Indonesia, harga sewa kapal tersebut lebih tinggi 20% dibandingkan harga sewa di Asean. Di kawasan tersebut, harga sewa kapal berada dalam tren naik, yaitu di kisaran 3,3% - 9,3% per tahun untuk berbagai jenis kapal AHTS.
Mungkin, bagi sebagian pihak, industri perkapalan, khususnya di sektor migas lepas pantai, masih kurang menarik karena sering dilanda masalah. Namun, bagi mereka yang jeli, di sana terdapat banyak berkah.
Namun, riak laut dapat berubah menjadi gelombang ganas sewaktu-waktu. Begitu pula di industri ini. Beberapa risiko juga harus diperhitungkan secara matang, seperti kemungkinan koreksi tajam harga minyak mentah, kegagalan untuk memperbarui kontrak kapal, kesulitan mencari dana untuk belanja modal, perubahan aturan cabotage, termasuk ketidakstabilan politik pascaterbongkarnya kasus korupsi di SKK Migas.
Kendati sektor migas masih penuh harapan, tetapi kehati-hatian dalam bereskpansi tetap diperlukan. Jangan sampai, pelaku industri perkapalan sama nasibnya seperti seorang kapten kapal Belanda bernama Bernard Fokke dalam mitos kapal hantu “The Flying Dutchman”.
Pria tersebut mencoba mengarungi lautan dari Belanda ke pulau Jawa dengan kecepatan luar biasa, tetapi karam di tengah pelayarannya menuju Tanjung Harapan akibat terlalu angkuh untuk berhenti atau memutar arah ketika diterjang badai.
“Aku bersumpah tidak akan mundur dan akan terus menembus badai untuk mencapai kota tujuanku, atau aku beserta semua awak kapalku akan terkutuk selamanya,” kata Bernard Fokke, dalam mitos “The Flying Dutchman”.
Semoga saja tidak.